Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa
Rasulillah, amma ba’du:
Menyembelih udhiyah (hewan qurban) pada hari raya
idul adha merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya boleh
dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). Dengan demikian
prosesi menyembelih hewan qurban yang dilakukan sebagai ibadah ritual
persembahan untuk Allah Ta’ala adalah salah satu bentuk representasi kemurnian
iman dan tauhid seorang mukmin.
Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri
(kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162). Dan sebaliknya memperuntukkan dan
mempersembahkan sembelihan apapun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan
syirik yang dilaknat oleh Allah (lihat HR. Muslim).
Dan karena sifatnya sebagai persembahan khusus
untuk Allah itu, maka menurut jumhur ulama, tidak ada bagian manapun dari hewan
qurban yang boleh dijual atau dijadikan sebagai upah jagal misalnya, termasuk
kulitnya, bulunya dan bahkan kain penutup yang dipakaikan pada hewan qurban
sebagai penahan cuaca panas dan dingin sejak seekor hewan telah ditetapkan
sebagai udhiyah sampai saat disembelih. Karena sejak ditetapkan sebagai qurban
yang dipersembahkan untuk Allah, maka hewan udhiyah itu telah murni menjadi
“milik” Allah.
Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya
mengizinkan agar “milik”-Nya itu dikonsumsi oleh pequrban dan keluarganya,
disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau hadiah, dan tidak untuk
dijual. Dalam hadits Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurus onta-onta
sembelihan (sebagai hadyu atau qurban) milik beliau, dan agar aku
membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya kepada orang-orang
miskin, serta agar aku tidak memberikan sesuatupun dari bagian hewan qurban itu
kepada jagal (sebagai ongkos/upah) (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan dalam hadits itu
pula, beliau bersabda kepada Ali: “Sedekahkanlah “baju” penutupnya dan tali
ikatannya , serta janganlah Engkau berikan upah jagal dari bagian hewan
sembelihan tersebut”.
Adapun mengapa tidak boleh dijual dan dijadikan
upah jagal (dan begitu pula tidak boleh untuk biaya-biaya operasional yang
lain), maka disamping memang hal itu semua dilarang berdasarkan dalil-dalilnya,
juga karena penjualan, pengupahan jagal dan pengambilan beaya operasional dari
bagian hewan qurban itu akan mengurangi nilai qurban dan menjadikannya tidak
utuh lagi sebagai persembahan untuk Allah Ta’ala. Logikanya adalah bawa, jika
kulit hewan qurban itu misalnya dijual atau dijadikan upah jagal, maka
seakan-akan sang pequrban telah berqurban dengan misalnya seekor kambing atau
sapi TANPA KULIT! Nah selanjutnya, jika demikian halnya, maka bagaimana cara
panitia qurban di masjid dan lain-lain menyikapi dan memperlakukan kulit-kulit
tersebut, dibawah ini penjelasannya.
Perlu dipahami bahwa, larangan menjual kulit atau
bagian apapun dari hewan qurban itu tertuju kepada sang pequrban dan juga
panitia qurban dalam status, posisi dan kapasitasnya sebagai wakil kepercayaan
dan penerima serta pengemban amanah para pequrban. Adapun jika yang melakukan
penjualan itu si penerima kulit atau seseorang atau pihak yang berstatus
sebagai wakil kepercayaan penerima, dan bukan wakil pequrban, maka hal itu boleh
dan tidak dilarang. Karena memang para menerima bebas mengapakan saja (tentu
selain memubadzirkannya!) apa-apa yang diterimanya dari bagian hewan qurban,
seperti memanfaatkannya sendiri, mengonsumsinya, memberikannya kepada orang
lain, termasuk menjualnya dan lain-lain. Dan sebagaimana mereka (para penerima)
bebas menjual sendiri yang mereka terima dari hewan qurban, seperti kulitnya
misalnya, maka proses dan transaksi penjualan tersebut juga boleh jika
diwakilkan kepada orang atau pihak lain.
Akhirnya berikut ini beberapa opsi atau
alternatif pilihan untuk cara memperlakukan dan mendistribusikan kulit hewan
qurban:
1. Panitia melakukan pendataan nama orang-orang
atau pihak-pihak (tidak harus perorangan, tapi insyaa-allah bisa juga yayasan,
lembaga, masjid, panti, sekolah dan lain-lain) yang disepakati dan ditetapkan
sebagai penerima kulit-kulit itu. Lalu setelah proses penyembelihan dan
pengulitan, panitia menyerahkannya langsung dalam bentuk kulit kepada mereka
sesuai data, dan membiarkan mereka melakukan apa saja terhadap kulit-kulit itu
sesuai kemauan dan kebutuhan masing-masing. Karena dengan telah diserah
terimakan, maka otomatis kulit-kulit itu telah menjadi hak milik sah para
penerimanya. Yang berarti pula dengan begitu panitia telah lepas tanggung jawab
terhadapnya.
2. Panitia melakukan pendataan para calon
penerima kulit sesuai kesepakatan seperti yang pertama, lalu mendatangi atau
menghubungi masing-masing untuk memberi tahu bahwa ia akan kebagian kulit,
sambil menanyakan apakah akan menerimanya langsung dalam bentuk kulit, ataukah
ingin dibantu dijualkan lalu menerimanya sudah dalam bentuk uang senilai harga
kulit yang telah ditetapkan menjadi bagian-nya. Nah jika si penerima ingin
dibantu dijualkan, maka siapa saja (yang penting amanah) bisa dan boleh
mewakilinya menjualkan, termasuk panitia itu sendiri. Karena yang penting
disini status dan posisinya sudah sebagai wakil penerima dan bukan lagi sebagai
wakil pequrban. Ingat, yang tidak boleh adalah jika panitia menjual kulit masih
dalan status dan posisinya sebagai wakil pequrban. Karena memang wakil itu
terikat dengan seluruh hukum dan konsekuensinya yang mengikat pihak yang
diwakilinya!
3. Panitia melakukan pendataan seperti yang
pertama dan kedua itu, tapi tanpa harus mendatangi atau menghubungi satu
persatu pihak-pihak penerima yang telah terdata, melainkan bisa langsung
mewakili mereka dalam penjualan kulit yang menjadi bagian mereka sesuai data,
lalu menyerahkan hasil penjualan kulit itu kepada mereka seusai proses
transaksi jual beli. Dan hal itu bisa ditolerir, karena hampir bisa dipastikan
bahwa, para penerima itu akan setuju jika dibantu dalam penjualan kulit-kulit
itu untuk nantinya mereka tinggal menerima hasil penjualan dalam bentuk uang.
Karena hal itu lebih memudahkan panitia dan sekaligus lebih meringankan dan
membantu mereka sendiri.
Namun cara yang lebih afdhal untuk opsi terakhir
ini adalah sebaiknya panitia menunjuk atau membentuk sub panitia yang secara
khusus bertugas menangani kulit, yang sejak awal telah disepakati tentang status
dan posisinya sebagai wakil para penerima kulit, khususnya dalam melakukan
proses dan transaksi penjualan serta penyerahan hasilnya kepada mereka sesuai
data dan fakta.
Dan satu hal yang harus diingatkan agar tidak
diabaikan disini, dan juga supaya proses transaksi penjualan kulit itu
dibenarkan dalam rangka mewakili dan atas nama pihak-pihak penerima, dan bukan
lagi mewakili dan atas nama para pequrban, adalah bahwa pendataan nama-nama
atau pihak-pihak penerima kulit harus sudah dilakukan sebelumnya, sehingga saat
transaksi penjualan terjadi status kulit-kulit itu sudah benar-benar jelas
sasaran alamat penerimanya. Dimana hal ini tentu saja sangat jauh berbeda
dengan praktek umumnya panitia qurban selama ini, yang langsung menjual
kulit-kulit qurban sebelum jelas betul siapa-siapa saja pihak penerimanya.
Karena dalam kondisi seperti itu status dan posisi panitia tetap sebagai wakil
para pequrban, dan bukan wakil penerima karena sampai penjualan terjadi, para
penerima masih belum definitif! Itulah tiga opsi yang bisa dilakukan dalam
menyikapi dan memperlakukan kulit hewan qurban yang selama ini memang selalu
dilematis bagi para panitia qurban setiap tahun.
Ada satu hal lagi yang terlewat dan sangat
penting sekali diperhatikan dan diingat serta dijaga oleh setiap pengemban
amanat pelaksanaan ibadah qurban dari para pequrban. Yakni terkait beaya
operasional penyelenggaraan proses qurban, mulai dari perawatan dan penjagaan
hewan sebelum disembelih, proses penyembelihan, pengulitan dan seterusnya
sampai terakhir pendistribusian seluruh bagian hewan sembelihan qurban.
Dimana seperti yang telah ditegaskan diatas
bahwa, beaya operasional tidak boleh diambilkan dari bagian hewan qurban,
karena itu akan mengurangi kesempurnaannya sebagai ibadah persembahan istimewa
kepada Allah Ta’ala. Maka untuk semua kebutuhan operasional itu, dengan
demikian, harus disiapkan dana atau anggaran khusus dari selain hasil
sembelihan hewan qurban. Dan ada dua opsi yang bisa disebutkan disini.
Pertama, dan ini yang ideal dan lebih baik, beaya
operasional ditanggung oleh para pequrban. Sehingga selain menyerahkan hewan
qurban, sebaiknya setiap pequrban juga menambahkan dana khusus sebagai beaya
operasional pelaksanaan qurbannya, setelah ditentukan besarannya oleh panitia
pengemban amanat.
Dan opsi kedua, jika tidak dibebankan kepada para
pequrban, berarti panitia harus menyediakaan dana operasional khusus tersebut
dari sumber lain, dari sumber mana saja yang penting halal, yang jelas selain
dari bagian hewan qurban yang disembelih!
Dan terakhir, yang perlu ditegaskan disini agar
jelas benar bagi semua bahwa, ketentuan tentang perlakuan – yang terkesan
“ribet” – terhadap kulit dan bagian lain dari hasil sembelihan qurban, adalah
bagian tak terpisahkan dari kesempurnaan aspek ibadah ritual, yang justru
merupakan aspek asasi dari pelaksanaan ibadah istimewa di hari raya idul adha
ini. Sehingga cara memahaminya harus dengan pendekatan ritual murni, dan bukan
dengan pendekatan logika akal semata! Semoga uraian singkat ini bisa dipahami dengan
baik dan bermanfaat.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa
aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.