Pages

Rabu, 04 Desember 2013

Membumikan Spritualitas Haji Dan Qurban

Setiap kali musim haji tiba, pembicaraan kita pun selalu berulang dalam tema yang itu-itu juga, kuota jemaah haji yang perlu ditambah, pembatasan perjalanan haji bagi yang pernah naik haji lebih dari sekali, sistem pembagian konsumsi bagi jemaah haji Indonesia di Arab Saudi, atau ketidakseriusan pemerintahan Bani Sa’ud dalam menjamin keamanan dan kenyamanan beribadah haji dan lain-lain. Lalu menjelang hari raya qurban atau Idul Adha  kita pun (lagi-lagi) beramai-ramai membicarakan harga kambing dan sapi yang kian melangit, atau bahwa menyembelih sapi lebih bernilai ekonomis (dan sosial) ketimbang menyembelih kambing, karena kambing bisa dibeli secara patungan dan para pemakan daging sapi lebih banyak jumlahnya daripada pemakan daging kambing.

Tentu tidak ada yang salah dengan tema-tema pembicaraan itu. Bahkan semakin menunjukkan bahwa gairah keagamaan masyarakat kita tidak pernah meredup, pun semangat kita untuk selalu berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu (melalui qurban) tidak pernah berkurang. Namun, terkadang kita lupa bahwa di balik perintah untuk beribadah haji atau berqurban itu, sesungguhnya tersirat pesan yang lebih bersifat personal-spiritual, ketimbang sekedar ritual, yakni perintah untuk selalu membangkitkan kesadaran diri bahwa segala sesuatu yang kita miliki di atas jagat raya ini (kekayaan ataupun jabatan) hakikatnya hanyalah titipan Tuhan, yang pada saatnya nanti akan dikembalikan kepada-Nya, atau diminta lagi oleh-Nya.

Hari Raya Idul Adha dirayakan kaum muslimin setiap bulan Dzulhijjah (kalender hijriah). Pada perayaan itu, di Mekkah sedang berlangsung ibadah haji yang diikuti oleh jutaan kaum muslimin dari segala penjuru dunia, dan dilaksanakan pemotongan hewan qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang paling membutuhkan.

Ta’rif Ma’na Idul Qurban

Secara etimologis, ‘id berarti suka cita yang terus berulang. Di samping itu, ‘id juga berasal dari kata ‘ada yang artinya kembali. Sedangkan adha, berasal dari kata udhiyah yang berarti korban. Sehingga Idul Adha juga biasa disebut dengan Idul Qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang artinya dekat. Antara kata qurban, yang berarti mendekat, dan adha yang berarti qurban, sesungguhnya merupakan dua makna yang dapat dipertemukan, yaitu untuk dapat mendekat kepada Allah diperlukan sebuah pengorbanan.[1]

Maksud qurban dalam Islam adalah melaksanakan penyembelihan binatang ternak demi memenuhi perintah Allah dan menuju takwa. Sehubungan dengan ini Al-Ghazali mengatakan:  “Ketahuilah, bahwa qurban itu adalah suatu pendekatan diri kepada Allah swt. Maka sempurnakanlah pemberian itu, dan berharaplah agar Allah membebaskan kamu dari setiap bagian api neraka dengan setiap bagian dari qurban itu. Oleh karena itu, setiap kali pemberian itu lebih besar, dan bagian-bagian itu banyak, maka penebusan dirimu dari api nerakapun akan lebih banyak pula.

Maka di dalam melaksanakan penyembelihan binatang ternak mengandung nilai pendidikan dari Allah swt dan langsung dapat dikaji oleh manusia itu sendiri. Sebagian manfaat yang dapat dilihat adalah: memberi contoh sifat dermawan; memberi kesempatan kepada fakir miskin untuk sepuas-puasnya memakan daging sembelihan; mendorong orang untuk berbuat sosial; memberikan bantuan gizi dan protein kepada orang yang lemah yang berhak menerima; melatih kehidupan memupuk rasa hidup bersama antara si kaya  dan para fakir miskin; menanamkan rasa kasih sayang dan belas kasihan terhadap sesama hidup di bumi Allah; menanamkan sambung rasa  dan tenggang rasa, menanamkan tali persaudaraan terhadap sesama muslim, menciptakan kedamaian yang langgeng.

Ibadah haji yang serangkai dengan idul adha dan pemotongan hewan qurban adalah termasuk rukun Islam yang kelima. Sebagian ulama mengatakan bahwa melaksanakan ibadah qurban adalah wajib bagi tiap-tiap muslim yang mampu. Hal itu berdasarkan surat al-Kautsar ayat: 2 berikut:

  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)

Artinya: “Maka dirikanlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (Q.S. al-Kautsar [108]: 2). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ibadah qurban adalah sunnah mu’akkad, yaitu amalan sunah yang sangat dianjurkan.[2] Artinya derajat sunahnya lebih tinggi dari sunnah biasa. Hal itu berdasarkan peringatan halus dari Rasulullah berikut:

من وجد سعة فلم يضحِّ فلا يقربن مصلانا. رواه إبن ماجه عن إبى هريرة

Artinya: “Barang siapa yang mempunyai kelapangan (mampu) untuk berqurban, tetapi tidak melaksanakannya, maka jangan dia dekat-dekat dengan tempat shalat kami (mushalla) (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Di samping landasan tersebut, ibadah qurban juga merupakan napak tilas pengalaman ruhani Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail a.s. Haji merupakan ciri khas ajaran Islam, merupakan identitas Islam. Tapi tahukah kita bahwa perayaan dan ibadah tersebut sesungguhnya adalah napak tilas pengalaman spiritual Ibrahim a.s. dan keluarganya? Sebegitu tinggi kedudukan Ibrahim (ejaan barat: Abraham) dalam ajaran Islam. Dengan demikian, perayaan Idul Adha, ibadah Qurban, bahkan ibadah haji sekalipun, rasanya tidak lengkap jika tidak mengulas kembali tokoh Ibrahim, beliau adalah nenek moyang Muhammad s.a.w., sekaligus pula nenek moyang Musa (Moses) dan Isa Al Masih (ejaan latin: Yesus). Semasa hidup, Ibrahim memiliki dua istri. Dari istri bernama Hajar (berdarah afrika), berputra Ismail (Ishma El artinya ‘Tuhan telah mendengar’). Dari istri bernama Sarah (berdarah Babylon; Babylon kemudian bernama Persia kemudian sekarang menjadi negara Irak dan Iran) berputra Ishak. Memahami siapa sebenarnya tokoh Ibrahim secara lebih dekat adalah penting, mengingat Ibrahim dipandang sebagai nenek moyang agama-agama monotheistic, Islam, Yahudi dan Nasrani,[3] Ismail dan Ibunda Hajar tinggal di Mekkah, sedangkan Ishak dan Ibunda Sarah tinggal di Kanaan (Palestina). Dari Ismail, lahirlah anak-cucunya yang bernama Muhammad (menjadi Rasul pada usia 40 tahun). Dari Ishak lahirlah Ya’qub as. Ya’qub kemudian menjadi Rasul. Nabi Ya’qub mendapat julukan Israel (Ishra El artinya ‘Hamba Allah’, sama artinya dengan Abdullah). Nabi Ya’qub memiliki 12 anak yang kemudian menjadi 12 suku Bani Israel. Dari Bani Israel ini lahirlah Nabi Yusuf, Ayyub, Zulkifli, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa putra Maryam. Nabi Muhammad Saw mengajarkan Islam, Bani Israil mengajarkan agama Yahudi, dan dari Isa putra Maryam lahirlah ajaran Kristen.[4]

Jadi jelaslah, Ibrahim tidak beragama Islam, tidak beragama Yahudi, tidak pula beragama Kristen, karena semua agama-agama itu lahir dari anak cucunya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa agama Ibrahim adalah ‘agama Jalan Lurus’ atau agama ‘penyerahan diri kepada Tuhan’ atau ‘agama keesaan’. al-Qur’an menerangkan bahwa Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama para nabi sebelumnya, terutama agama Ibrahim a.s.[5]

Historisitas Haji dan Qurban

Dari literatur diketahui bahwa bangunan ibadat yang pertama kali dibangun oleh manusia tepat berada di posisi Ka’bah (Ka’bah berarti juga Kubik).[6] Ibrahim dan Ismail membangun kembali (memugar) bangunan ibadat yang ada, dan karena bentuknya berupa kubus, kemudian dinamai Ka’bah. Ritual Ibrahim dan Ismail di Ka’bah adalah prototipe dari ritual haji sekarang. Adapun rangkaian ritual haji yang lain, yaitu pelemparan batu (Jumrah), qurban, dan sa’i (berlari dari bukit Safa ke Marwah bolak-balik) bermula dari kisah berikut ini:

Ketika Ismail masih bayi, Ibrahim mendapat perintah dari Allah S.W.T. (Tuhan Semesta Alam) untuk membawa dan meninggalkan Ismail beserta Ibunda Hajar berduaan saja disebuah padang pasir yang tandus bernama lembah Bakkah (kemudian bernama Mekkah). Sepeninggal Ibrahim, Ismail yang masih bayi menangis kehausan. Bunda Hajar panik, berlari-lari hingga ke bukit Safa dan Marwah bolak-balik mencari mata air. Namun, tak jua menemukan mata air. Sambil terus berdoa kepada Allah, Bunda Hajar tak henti berikhtiar mencari air. Ketika kembali ke lembah Bakkah, didapatinya mata air baru yang semakin lama semakin deras sehingga menjadi sebuah kolam (kini bermana sumur Zamzam). Perjuangan Hajar mencari mata air adalah simbol perjuangan sosok Ibu menghidupi anaknya. Sekaligus pula mengandung pelajaran bahwa tidak semestinya kaum yang beriman berputus asa dari Rahmat Allah S.W.T.

Pemahaman dan praktek qurban di kalangan manusia sesungguhnya telah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. yaitu sejak Qabil dan Habil masing-masing mengorbankan hewan piaraannya.[7] Di zaman Nabi Ibrahim a.s. dan masa-masa sebelumnya, manusia sering dijadikan qurban/sesajen untuk dipersembahkan kepada para dewa/tuhan-tuhan mereka, di Kana’an (daerah Palestina Selatan) bayi-bayi diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewa Baal. Orang-orang Aztec di Meksiko mengorbankan manusia untuk diambil jantung dan darahnya, kemudian dipersembahkan kepada Dewa Matahari, di Mesir, pada waktu-waktu tertentu, gadis tercantik diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewi Sungai Nil. Orang-orang Viking yang dulunya bermukim di Eropa Utara, mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang bernama “Odin”.[8]

Ketika Ismail memasuki usia remaja, Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menjadikan Ismail qurban (tumbal persembahan kepada Allah S.W.T). Perintah Allah ini untuk menguji Ibrahim, apakah lebih mencintai Allah atau anaknya. Sebelum sampai pada waktu yang ditentukan, Ibrahim memberitahukan perihal perintah Allah tersebut kepada Ismail. Ismail menjawab kurang lebih, ‘Insya Allah, Ayahanda akan mensdapati saya termasuk orang-orang yang sabar’. Dialog antara dua insan yang sangat shalih ini diabadikan Allah dalam al-Qur’an:

 فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّى أَرَى فِى اْلمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْذُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِى افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (١٠٢)

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (Q.S.[]:).

Namun, ketika hari yang ditetapkan tiba, Syetan menggoda Ismail dan Hajar agar bergeming hatinya dan membatalkan rencana qurban tersebut. Ismail dan Hajar tak mampu digoda, malah melakukan perlawanan dengan melempari Syetan dengan batu. Singkat kata, ketika Ibrahim dan Ismail betul-betul akan melakukan perintah Allah, tiba-tiba Allah mengganti qurban Ismail dengan seekor domba. Penggantian qurban manusia dengan domba oleh Allah S.W.T. amat disyukuri Ibrahim sekeluarga. Kemudian selanjutnya, sebagai rasa syukur, setiap tahun menjadi tradisi qurban domba di kalangan keluarga Ibrahim, yang dilanjutkan oleh anak keturunannya hingga jaman Rasulullah Muhammad s.a.w. Ketika Muhammad s.a.w. menjadi rasul, ditetapkan tradisi qurban menjadi Hari Raya kaum muslimin.

Siapapun yang sedang dan pernah menjalankan Ibadah Hajji tentu mengucapkan kalimat talbiyyah, karenaa memang hal itu diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Dalam kalimat-kalimat talbiyah, yang selalu dikumandangkan para jemaah haji di Tanah Suci, proses penyadaran diri itu begitu terasa:

لبيك اللهم لبيك, لبيك لا شريك لك لبيك, إنّ الحمد و نعمة لك و الملك لا شريك لك

“Ya Tuhan kami, kami datang menghampiri-Mu, memenuhi panggilan-Mu, untuk mengembalikan segala puji, kenikmatan dan kekuasaan, yang sesungguhnya hanyalah milk-Mu. Tak ada sekutu bagi-Mu.”

Kalau saja kalimat-kalimat talbiyah itu dihayati secara mendalam oleh setiap musim di negeri ini (yang sudah beribadah haji maupun belum) maka idealnya, penyalahgunaan jabatan dan wewenang akan berkurang, dan praktik korupsi berangsur sirna di republik ini, karena munculnya kesadaran massal bahwa jabatan dan kekayaan tersebut hanya milik-Nya. Bukan milik kita. Nilai ibadah haji yang sesungguhnya bukan terletak pada perjalanannya, bukan hanya pada thawafnya, sya’inya, wukufnya, atau pelemparan batu di jumratul aqaba dan menginap di Mina. Namun pada kepasrahan total memberikan seluruh diri dan hidup kita kepada Tuhan, walaupun hanya sesaat, karena semua yang kita miliki, termasuk diri ini, hakikatnya adalah milik-Nya.

Proses penyadaran diri itu, juga terkandung dalam perintah melaksanakan ibadah qurban. Ketika Tuhan memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail (Ishaq, dalam Kitab Perjanjian Lama), sebenarnya Tuhan hanya sekadar ingin mengingatkan manusia (yang diwakili oleh Ibrahim) bahwa harta yang paling berharga sekalipun (yang disimbolisasikan oleh Ismail) jika sudah waktunya diminta kembali oleh pemiliknya, harus dikembalikan dengan keikhlasan total.

Ismail, adalah milik Tuhan yang dititipkan pada Ibrahim. Dan, Ibrahim ikhlas mengembalikan Ismail, ketika Sang Khalik memintanya. Sehingga Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana itu pun, mengganti Ismail yang akan disembelih itu dengan seekor kambing, dan Ismail pun tetap hidup bersama sang ayah. Bagi Tuhan, bukan penyembelihan Ismail yang jadi tujuan, tapi kesadaran Ibrahim bahwa Ismail, tak lebih hanya titipan-Nya.

Begitu pula dengan milik orang lain yang secara sadar ataupun tak sadar kita ambil. Bila kita ingin kembali kepada fitrah (kesucian), kita harus mengembalikannya kepada yang berhak. Harta hasil korupsi misalnya. Tak sedikit koruptor yang dengan maksud membersihkan diri dan namanya, ia berqurban dengan menyembelih beberapa ekor sapi, padahal nilai harta yang telah dikorupnya senilai dengan puluhan ribu ekor sapi. Tujuan membersihkan diri tidak akan tercapai sebelum seluruh harta milik rakyat yang telah dirampoknya itu dikembalikan kepada yang berhak. Di situlah nilai ibadah qurban yang sesungguhnya, bukan pada peristiwa penyembelihan hewan.

Setiap tahun, ratusan ribu jemaah haji dari Indonesia diberangkatkan menuju Haramain (Mekah dan Medinah). Jika dihitung sejak Indonesia merdeka, maka sudah jutaan (atau mungkin puluhan juta) muslim Indonesia bergelar haji. Pun, sudah jutaan ekor sapi dan kambing diqurbankan. Jika makna yang terkandung dalam perintah ibadah haji dan qurban itu dihayati secara holistik, bukan mustahil negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang sentausa dan selalu berada dalam ampunan Tuhan).

Tetapi semua itu masih berada dalam lingkup andaikan dan jikalau. Tahun depan dan tahun depannya lagi, kita akan kembali berbondong-bondong berangkat ke Tanah Suci, dan beramai-ramai lagi menyembelih sapi, kambing dan kerbau. Lagi-lagi kita akan lupa pada pesan tersirat di balik perintah ibadah haji dan qurban yang lebih personal-spiritual, karena kita lebih suka dengan ritual. Satu hal yang jauh lebih penting dari ritual haji dan qurban ini, adalah harta yang halal. Daging qurban itu halal dzatnya, namun belum tentu thoyyib (baik) memperolehnya. Kita tahu, kita hidup di negara yang kita amini sendiri, korupsi masih menjadi budaya struktural dan sosial. Maka, mungkin sekali (dan hampir pasti) terdapat birokrat yang bersedekah hewan qurban dengan harta korupsi. Di kota-kota besar, qurban semarak, namun di situlah akar korupsi terus tumbuh. Bila demikian, haji dan qurban semata parade yang semu bagi pelakunya. Manusia yang masih terjebak sebagai pemuja harta jauh dari pemahaman nurani Ismail a.s.
Wa Allâh A’lam bi al-Shawwâb.

Minggu, 03 November 2013

Tahun Baru Islam 1435 Hijriyah



Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah  1435 H. Rasanya  peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk  bekal menghadap sang Ilahi. 
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan  keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”

Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada  Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.

Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.

Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan  melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi  muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.

Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini.
Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.

Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).

Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.

Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435  ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi

sumber : republika.co.id

Rabu, 23 Oktober 2013

Hukum Daging Qurban Yang Dikalengkan


http://tabunganqurbanrumahzakat.blogspot.com/Bagaimana hukum daging kurban (qurban) kalengan (yang disajikan dalam kaleng)? Apakah dibolehkan seperti itu?
Pembahasan ini merujuk pada bahasan, bolehkah menyimpan daging kurban melebihi tiga hari.
Dari Salamah bin Al Akwa', ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

"Barangsiapa yang berkurban di antara kalian, maka janganlah di pagi hari setelah hari ketiga di rumahnya masih tersisa sedikit dari daging kurban." Ketika datang tahun setelahnya, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami akan melakukan sebagaimana yang dilakukan tahun yang lalu (yaitu tidak menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, -pen). Beliau bersabda, "(Tidak), tetapi sekarang silakan kalian makan, memberi makan, dan menyimpannya, karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan/krisis pangan, -pen), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan, -pen).” (HR. Bukhari no. 5569 dan Muslim no. 1974).

Hadits di atas menunjukkan bahwa larangan menyimpan daging kurban itu terjadi pada tahun 9 hijriyah, sedangkan dibolehkannya menyimpan terjadi pada tahun 10 hijriyah. Lihat Fathul Bari, 10: 26.

Dari nash di atas, kebanyakan ulama berdalil akan bolehnya menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Sedangkan 'Ali dan Ibnu 'Umar tetap tidak membolehkan daging kurban disimpan lebih dari tiga hari karena tidak sampai pada mereka mengenai hadits tentang keringanan bolehnya menyimpan lebih dari tiga hari. Mereka berdua memang mendengar hadits larangan dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga mereka meriwayatkan sesuai dengan apa yang mereka dengar. Lihat Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah, 2: 350.

Jika memang menyimpan hasil kurban dibolehkan lebih dari tiga hari, itu berarti bolehnya menyimpan daging kurban dalam kemasan kaleng atau dikalengkan atau dibuat jadi kornet. Bahkan ada beberapa manfaat jika hasil kurban dikalengkan seperti ini:

1. Mudah tahan lebih lama.
2. Ukuran jatah lebih jelas bagi setiap penerima.
3. Mudah didistribusikan dan lebih praktis dikonsumsi.

Jadi selama penyembelihan kurban dilakukan pada hari Idul Adha dan hari tasyriq (11 dan 12 Dzulhijjah) dan cara penyembelihannya benar, juga diolah dengan bahan yang halal, maka sah-sah saja mengalengkan atau mengemas daging kurban dalam kaleng.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

RZ SALURKAN SUPERQURBAN BERSAMA KOMUNITAS MARI BERBAGI


mari berbagiPEKANBARU. RZ cabang Pekanbaru bersama komunitas Mari Berbagi Pekanbaru melakukan penyaluran bersama 200 kornet Superqurban di seputaran Harapan Raya Pekanbaru. Penyaluran bersama komunitas yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang sedang membutuhkan.

“Kami sangat senang bisa turut serta dalam penyaluran Superqurban. Ini benar-benar luar biasa, daging qurban tahun lalu masih ada dan bisa disalurkan hingga menjelang qurban tahun berikutnya. Kalau daging qurban bisa diolah dengan baik, bisa jadi stok pangan buat negeri sepanjang tahun. Dan bisa mengurangi angka kekurangan gizi. Sayang, kalau daging qurban yang berlimpah pas idul qurban habis hanya dalam waktu 3 hari.” Tutur Ari, anggota mari berbagi.

Rico Yuza selaku Program Head Pekanbaru mengatakan bahwa pada Tanggal 1 Oktober 2013 yang lalu, RZ juga bersama Kemenkokesra melaunching Gerakan Sejuta Pangan Untuk Nusantara (GSPUN) bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta dalam acara Apreasiasi Bhakesra 2013. GSPUN ini diawali dengan mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan daging qurban agar memiliki daya tahan yang lebih lama sehingga dapat digunakan sepanjang tahun.

“Sudah sunatullah Indonesia adalah negeri yang rawan bencana. Oleh karena itu kita harus membuat persiapan yang salah satunya adalah persediaan pangan. Kami memiliki target hingga diakhir tahun 2014 nanti untuk menyalurkan satu juta paket siaga pangan untuk masyarakat yang membutuhkan,” pungkasnya.***

Minggu, 06 Oktober 2013

Hukum Memakan Daging Qurban Sendiri

Hukum Memakan Daging Qurban Sendiri, maka Jumhur Ulama berpendapat bahwa hal itu sunnah (Lihat Fiqhus Sunnah 3:277); Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu VI/282). Mereka berhujah dengan beberapa dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah swt : “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj : 28). Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya: “Perintah dalam ayat ini bermakna sunnah menurut Jumhur Ulama. Dianjurkan bagi si pequrban memakan daging qurbannya dan bersedekah dengan sebagian besar daging qurbannya. Namun, diperbolehkan bersedekah dengan seluruhnya atau memakan semuanya (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 12/44).
2. Hadits Rasulullah saw, “Makanlah oleh kalian, bershadaqahlah dan simpanlah.” (HR. Bukhari (5569), Muslim (1971), Abu Dawud (2812)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa sunnah membagi daging qurban menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk disimpan, sepertiga untuk disedekahkan dan sepertiga lagi untuk dimakan” (Bidayatul Mujtahid, juz II hal. 32)
3. Jumhur Ulama menyebutkan bahwa  dahulu kaum musyrikin tidak memakan hewan qurban mereka, kemudian diberikan rukhshah (keringanan) bagi kaum muslimin untuk memakannya sesuai sabda Rasul SAW. Mereka berpendapat bahwa  suatu perintah yang datang setelah larangan maka hukumnya bukan merupakan kewajiban.
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan kita bisa melaksanakan ibadah qurban kali ini dengan sebaik-baiknya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
sumber ; http://www.rumahzakat.org

Minggu, 29 September 2013

Harga sapi kurban di Cirebon naik gara-gara BBM

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta pakan sapi dianggap berkontribusi atas kenaikan harga sapi kurban menjelang Idul Adha tahun ini.

Salah seorang penjual sapi kurban di kawasan Pegambiran, Kota Cirebon, Ibnu mengatakan, harga hewan kurban yang dijualnya tahun ini lebih mahal dibanding tahun lalu. Dia menawarkan harga Rp12 juta sampai Rp26juta per ekor.

"Tahun lalu, harga sapi yang sekarang Rp26 juta, tahun lalu cuma cihargai Rp15 juta per ekor," tuturnya.

Menurut dia, kenaikan harga hewan kurban tahun ini dipengaruhi kenaikan harga BBM, karena biaya transportasi dari Jawa Tengah ke Cirebon mengalami kenaikan, termasuk melonjaknya harga pakan sapi. Ibnu mengaku terpaksa menaikkan harga, karena penjual yang menawarkannya di Jateng telah menaikkan harga.

Akibat kenaikan harga sapi saat ini, Ibnu pesimis sapi yang terjual akan sama jumlahnya seperti tahun lalu. Di mana Isul Adha 2012 dia telah menjual sekitar 35 sapi, namun selama sekitar sepuluh hari terakhir ini sapi yang terjual baru sekitar sepuluh ekor.

Sementara, Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian (DKP3) Kota Cirebon menggelar pelatihan penyembelihan dan penanganan daging kurban yang diikuti 25 orang dari Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dari 22 kelurahan se-Kota Cirebon.

"Pelatihan diberikan untuk memberi pemahaman dalam penyembelihan hewan kurban agar sesuai syariat Islam dan sanitasi. Dalam hal ini, petugas penyembelih hewan harus sehat dan alat maupun tempat kerja higienis," terang Kepala Seksi Keswan dan Kesmavet Bidang Peternakan DKP3, Diah Komala.

Dia mentakan, penanganan daging kurban harus dilakukan di tempat bersih, menggunakan talenan plastik, memisahkan jeroan dan daging, serta menggunakan plastik yang bukan daur ulang.

Perwakilan Kementerian Agama (Kemenag) Kota Cirebon, Muslim Muchlas menegaskan, tata cara menyembelih hewan perlu diarahkan pada ketentuan syariah dan UU. "Petugas penyembelih tidak hanya harus mahir tapi juga memiliki sertifikat sebagai legalitas," ujar dia.
sumber : Sindonews.com

Rabu, 25 September 2013

Larangan Bagi Orang yang Ingin Berqurban

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita. Shalwat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Bagi orang yang ingin berqurban dilarang memotong kuku dan memangkas rambutnya sejak masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga dia menyembelih hewan qurbannya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Apabila kalian melihat hilal Dzilhijjah dan salah seorang kalian ingin berkurban, maka hendaknya dia menahan rambut dan kuku-kukunya (yakni tidak memotongnya,- red).” (HR. Muslim, beliau membuat bab untuk hadits ini dan hadits-hadits semakna dengannya, “Bab larangan bagi orang yang sudah masuk Dzulhijjah sementara ia ingin berqurban untuk memotong rambut dan kukunya sedikitpun”)
 Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa jika sudah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia mengambil sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulit luarnya sampai dia menyembelih hewan qurbannya. Dan jika dia memiliki beberapa hewan qurban, maka larangan ini gugur setelah melakukan penyembelihan yang pertama (Ahadits ‘Asyr Dzilhijjah wa Ayyama Tasyriq, Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan, hal. 5) Larangannya haram atau makruh? Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum rinci atas larangan ini bagi orang yang ingin berqurban ketika sudah memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah, antara haram dan makruh. Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Dawud, dan sebagian pengikut imam Syafi’i berpendapat, diharamkan baginya mengambil sesuatu dari rambut dan kukunya sehingga dia menyembelih hewan qurbannya pada hari penyembelihan. Imam Malik, Syafi’i, dan sebagian sahabatnya yang lain berpendapat, dimakruhkan –dengan makruh tanzih- bukan diharamkan. Kesimpulan ini didasarkan kepada hadits Aisyah,
Dahulu aku memintal tali-tali untuk dikalungkan pada unta Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau mengalungkannya dan mengirimkannya. Sementara tidak diharamkan atas beliau apa yang telah dihalalkan Allah hingga beliau menyembelih kurbannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka mengatakan, para ulama bersepakat bahwa ia tidak diharamkan memakai pakaian dan wewangian seperti diharamkan atas orang yang sedang ihram. Ini menunjukkan suatu anjuran bukan kewajiban. Karenanya Imam syafi’i berpendapat larangan ini tidak menunjukkan keharaman. Sementara hadits-hadits larangan dibawa kepada makna makruh tanzih. Memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berkurban hukumnya makruh, tidak sampai haram. Maksud larangan memotong kuku dan rambut Maksud larangan memotong kuku adalah larangan menghilangkannya dengan jepit kuku, mematahkannya, atau dengan cara lainnya. Sedangkan larangan memangkas rambut adalah menghilangkannya (mengambilnya) dengan mencukur, memendekkan, mancabut, atau cara lainnya. Rambut di sini mencakup bulu ketiak, kumis, kemaluan, dan rambut kepala serta bulu-bulu lain di badannya. Ibrahim al-Marwazi dan selainnya berkata, “Hukum semua anggota badan seperti hukum rambut dan kuku, dalilnya dalam riwayat Muslim yang lain,
 فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا “ 
Janganlah dia memotong sedikitpun dari rambut dan kulit luarnya.” (HR. Muslim, dinukil dari syarah Shahih Muslim milik Imam al-Nawawi) 
Kepada siapa larangan ditujukan Larangan ini khusus ditujukan kepada orang yang akan berqurban, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Dan ingin berqurban…” tidak meluas kepada istri dan anak-anak apabila mereka disertakan dalam niat berkurban tadi. Sedangkan orang yang menyembelih untuk orang lain karena wasiat atau perwakilan, tidak termasuk yang dilarang untuk memotong kuku, rambut, atau kulitnya. Karena hewan qurban itu bukan miliknya. Sementara wanita yang ingin berqurban lalu mewakilkan hewan qurbannya kepada orang lain karena ingin memotong rambutnya, maka tidak diperbolehkan. Karena hukum tersebut terkait dengan pribadi yang berqurban, baik dia mewakilkan kepada yang lainnya ataukah tidak. Sedangkan orang yang mewakilinya tidak terkena khitab larangan tersebut. 
Apa hikmahnya? 
Hikmah larangan di atas, sebagaimana disebutkan Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, agar seluruh bagian tubuh mendapatkan jaminan terbebas dari api neraka. Ada juga yang berpendapat, agar menyerupai orang-orang yang sedang ihram. Akan tetapi pendapat ini perlu dikoreksi, karena ia tidak menjauhi wanita, tidak meninggalkan memakai minyak wangi dan baju serta selainnya yang ditinggalkan orang yang sedang ihram. 
Bagaimana kalau niatan berqurban muncul bukan sejal awal Dzulhijjah? 
Bagi orang yang telah memotong kukunya atau memangkas rambutnya pada awal Dzulhijjah karena tidak ada niatan untuk berqurban, maka tidak mengapa. Kemudian keinginan itu muncul di pertengahan sepuluh hari pertama (misalnya pada tanggal 4 Dzulhijjah), maka sejak hari itulah dia harus manahan diri dari memotong rambut atau kukunya. 
Bagaimana kalau terpaksa? 
Orang yang sangat terdesak untuk memotong sebagian kuku atau rambut karena akan membahayakan, seperti pecahnya kuku atau adanya luka di kepala yang menuntut untuk dipangkas, maka tidak apa-apa. Karena orang yang berqurban tidaklah lebih daripada orang yang berihram yang pada saat sakit atau terluka kepalanya dibolehkan untuk memangkasnya. Hanya saja bagi yang berihram terkena fidyah, sementara orang yang berkurban tidak. 
Bolehkah keramas? 
Dalam mandi besar atau keramas biasanya ada beberapa lembar rambut yang akan rontok dan terbawa bersama air, bagaimanakah ini? Laki-laki dan perempuan yang ingin berqurban tidak dilarang untuk keramas pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, walaupun akan ada satu, dua, atau lebih helai rambutnya yang rontok. Karena larangan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tersebut bagi yang sengaja memotong atau memangkas dan juga karena orang berihram tetap dibolehkan untuk membasahi rambutnya. Laki-laki dan perempuan yang ingin berqurban tidak dilarang untuk keramas pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, walaupun akan ada satu, dua, atau lebih helai rambutnya yang rontok. Ya Allah limpahkan kebaikan-Mu kepada kami. Liputi kami dengan rahmat dan maghfirah-Mu. Jangan jadikan dosa-dosa kami sebagai penghalang atas pahala dan ampunan-Mu. Jangan Engkau telantarkan kami karena keburukan dan aib kami. Ampunlah kami, Ya Allah, dan ampuni dosa kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslimin. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada baginda Rasulillah, keluarga, dan para sahabatnya. Amiin

Selasa, 24 September 2013

Qurban atau Aqiqah dulu?

http://tabunganqurbanrumahzakat.blogspot.com/

Qurban dulu atau aqiqah dulu?
Aqiqah adalah sembelihan hewan  untuk anak yang baru lahir dan disyariatkan pada orang tua sebagai wujud syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap keselamatan dan barakah pada anak yang lahir tersebut. Hukum pelaksanaan aqiqah ini adalah sunnah muakkadah.
Imam Ahmad berkata: “Aqiqah merupakan sunnah dari Rasulullah saw. Beliau telah melakukan aqiqah untuk Hasan dan Hushain, para sahabat beliau juga melakukannya”.

Waktu pelaksanaannya, disunnahkan pada hari ketujuh. Jika tidak dapat, maka pada hari keempat belas. Bila tidak, maka pada hari kedua puluh satu. Sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda: “Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh”. [HR Ibnu Majah, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 2563].

Beliau saw juga bersabda: “Aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau empat belas atau dua puluh satu”. [HR Al Baihaqi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 4132].Ataupun kalau dia tidak mampu pada hari-hari tersebut maka dapat dia lakukan pada saat kapan pun ia memiliki kelapangan rezeki, sebagaimana makna dari pendapat para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk aqiqah bisa dilakukan sebelum atau setelah hari ketujuh.

Adapun yang bertanggung jawab melakukan aqiqah ini adalah ayah dari bayi yang terlahir namun para ulama berbeda pendapat apabila yang melakukannya adalah selain ayahnya :

  1. Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya.
  2. Para ulama Madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa tidak diperkenankan seseorang mengaqiqahkan kecuali ayahnya dan tidak diperbolehkan seorang yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri walaupun dia sudah   besar dikarenakan menurut syariat bahwa aqiqah ini adalah kewajiban ayah dan tidak bisa dilakukan oleh selainnya.
  3. Sekelompok ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan mengaqiqahkan dirinya sendiri sebagai suatu yang disunnahkan. Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang ayah boleh mengaqiqahkan anak yang terlahir walaupun anak itu sudah baligh karena tidak ada batas waktu maksimalnya.(al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2748)
Aqiqah atau Qurban

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa aqiqah tidak mesti dilakukan pada hari ketujuh dan itu semua diserahkan kepada kemampuan dan kelapangan rezeki orang tuanya, bahkan bisa dilakukan pada saat anak itu sudah besar/baligh.Orang yang paling bertanggung jawab melakukan aqiqah adalah ayah dari bayi terlahir pada waktu kapan pun ia memiliki kesanggupan. Namun jika dikarenakan si ayah memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa menggantikan posisinya yaitu mengaqiqahkan dirinya sendiri, meskipun perkara ini tidak menjadi kesepakatan dari para ulama.

Dari dua hal tersebut diatas maka ketika seseorang dihadapkan oleh dua pilihan dengan keterbatasan dana yang dimilikinya antara qurban atau aqiqah maka qurban lebih diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut:
  1. Perintah berqurban ini ditujukan kepada setiap orang yang mukallaf dan memiliki kesanggupan berbeda dengan perintah aqiqah yang pada asalnya ia ditujukan kepada ayah dari bayi yang terlahir.
  2. Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri namun perkara ini bukanlah yang disepakati oleh para ulama.

Dalil mereka yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri adalah apa yang diriwayatkan dari Anas dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi, “Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi Rasul”.  Kalau saja hadits ini shohih, akan tetapi dia mengatakan,”Sesungguhnya hadits ini munkar dan didalamnya ada Abdullah bin Muharror dan ia termasuk orang lemah sekali sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar. Kemudian Abdur Rozaq berkata,”Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah ini dikarenakan hadits ini.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah)

Sobat Zakat semua, mudah-mudahan penjelasannya bermanfaat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab

http://www.rumahzakat.org

Minggu, 22 September 2013

Agar Daging Qurban Tidak Mengancam Kesehatan


Oleh: Deri Rizky Anggarani

Qurban adalah ibadah yang telah diturunkan sejak Nabi Adam as (Qabil dan Habil), Nabi Ibrahim as, hingga Rasulullah Muhammad SAW dan kaum muslimin sampai kini. Dengan qurban, manusia mendekatkan diri kepada Allah dan saling berbagi kenikmatan terhadap sesama. Namun dalam prakteknya sering terjadi fenomena penumpukan daging dalam rumah tangga tanpa memikirkan seberapa manfaat daging itu bagi mereka. Daging qurban adalah bahan makanan yang mengandung nutrisi penting bagi kesehatan. Namun di samping itu beberapa kandungan di dalamnya justru menjadi ancaman jika dikonsumsi secara berlebihan.

Dalam jumlah asupan yang besar dan frekuensi konsumsi yang terus menerus, daging yang halal itu dapat menjadi tidak thoyyib bagi kesehatan. Daging adalah salah satu sumber protein hewani, kaya akan protein dan lemak. Konsumsi daging secara berlebihan akan menyebabkan kenaikan kadar lipid utama dalam darah (hipelipidemia). Kadar lipid utama dalam darah adalah kolesterol dan  trigliserida. Kadar lipid darah bisa meningkat disebabkan oleh gangguan metabolisme atau kelainan transportasi lipid. Penyebab kelainan ini adalah kelainan genetik (primer familial) dari penyakit lain (seperti diabetes, gangguan tiroid, penyakit  hati, atau ginjal).

Bagaimana Daging Mengancam Jantung?

Kita semua sudah mengetahui, bahwa daging merah (kambing, domba, sapi, unta, kerbau, dan sebagainya) mengandung lemak jenuh cukup tinggi dan menjadi salah satu bahan sumber kolesterol.Kolesterol dan lemak tidak dapat larut dalam darah sehingga harus dibawa ke seluruh tubuh oleh protein khusus yang disebut lipoprotein. Dalam darah kita terdapat LDL (Low Density Lipoprotein) yang merupakan protein pembawa kolesterol, dan sering disebut dengan “kolesterol jahat” karena bila kadarnya tinggi itu berarti banyak kolesterol dalam darah.

Selain LDL, dalam darah kita juga terdapat HDL (High Density Lipoprotein), yaitu protein yang bertugas mengantarkan kolesterol dari jaringan tubuh dan darah untuk disimpan di hati sehingga sering disebut “kolesterol baik” karena kadarnya yang tinggi akan mengurangi jumlah kolesterol dalam darah.

Nah, jumlah LDL yang berlebih dalam aliran darah ini lama-lama akan menimbun dan membentuk plak (endapan) yang menempel di dinding pembuluh darah. Dalam kasus yang lebih parah, plak ini akan mengeras dan menyumbat  aliran darah. Jika ini terjadi pada arteri jantung, maka penyakit yang muncul adalah penyakit jantung koroner, sedangkan bila penyumbatan terjadi pada pembuluh darah di otak maka penyakit yang muncul adalah Stroke.

Itu terjadi kalau kita berlebihan memakan daging merah tanpa memikirkan rambu-rambu. Jadi, daging yang halal itu menjadi tidak thoyyib karena kerakusan dan kelalaian manusia, terutama bagi mereka yang memiliki berat badan berlebih.

Agar Daging Tetap Bersahabat Bagi KesehatanKita dapat menyiasati daging dengan bijak agar ia tidak mengancam.

Pertama, ingatlah rambu-rambu Allah, “kuluu wasyrabuu, walaa tusrifuu…” Silakan saja makan dan minum, tapi jangan berlebihan. Sebagian dokter menganjurkan kita memakan daging maksimal 180 gram sehari. Tetapi dalam hitungan saya sebagai dietesien, jumlah itu masih terlalu besar. Takaran paling ideal bagi kita adalah maksimal 50 gram sehari bagi yang berat badannya ideal, dan cukup 35 gram sehari bagi Anda yang memiliki berat badan di atas normal! Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, Anda dapat memvariasikannya dengan ikan dan daging unggas (ayam). Kok kecil sekali takarannya? Itulah rambu dari Allah kalau kita ingin sehat. Hikmahnya adalah, memang daging qurban diperuntukkan bagi kaum duafa yang rata-rata kekurangan protein dan tidak bermasalah dengan kelebihan kolesterol.

Itulah rahasia Allah, mengapa qurban menggunakan domba, sapi, atau unta karena daging hewan ini amat cocok untuk kaum duafa dan kurang cocok bagi kaum yang makmur.

Bayangkan kalau qurban itu boleh dengan ayam atau ikan (misalnya satu orang boleh berqurban duapuluh ekor ayam atau tiga puluh kilo ikan), maka orang-orang kaya akan tetap leluasa memakannya karena ayam dan ikan aman bagi orang berkelebihan berat badan, sementara itu misi sosial (hablum minannaas) tidak terpenuhi. Jadi, bahasa sederhananya, daging domba dan sapi memang tidak aman bagi golongan kaya, tetapi amat dibutuhkan bagi saudara-saudara kaum duafa. Indahnya skenario Allah.

Kedua, olahlah daging dengan meminimalisir penggunaan minyak. Contohnya dengan cara mengukus dan merebus
(misalnya sup, soto) tanpa menambahkan santan kental. Jika ingin menggunakan minyak maka pengolahan yang tepat yaitu dengan menumis. Dan sebaiknya minyak yang digunakan untuk menumis adalah minyak  minyak jagung, minyak zaitun, atau minyak wijen yang rendah kalori.

Cara pengolahan lainnya yaitu dengan dibakar atau dipanggang. Dengan cara ini, lemak daging meleleh kemudian menetes jatuh atau menguap saat terkena panas sehingga kadarnya berkurang. Namun demikian, jangan sampai terlalu banyak bagian daging yang terbakar (gosong kehitaman), karena bagian ini adalah karsinogen yang diduga menjadi salah satu pemicu kanker. Panggangan setengah matang juga tidak baik karena tidak semua daging steril dari virus atau bibit penyakit lain. Pemanggangan yang baik adalah dengan api yang kecil tetapi dilakukan dengan waktu yang agak lama. Jadi, daging matang penuh sampai dalam, tetapi tidak ada bagian yang gosong.

Ketiga, selama mengkonsumsi daging, konsumsilah sayuran dan buah dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan porsi dagingnya. Biasanya menu pada saat hari raya iedul adha adalah gulai atau sate kambing, sambel goreng kentang krecek atau sambel goreng tempe. Menu ini tentu saja rendah serat, karena tidak menyertakan hidangan sayuran ataupun  buah-buahan. Hal ini terjadi di hampir seluruh rumah ketika qurban datang.

Contoh menu yang baik adalah makan nasi dengan sepotong tiga tusuk sate  atau bistik, ditemani tumis buncis dan wortel atau acar ketimun dan wortel serta  jus tomat mix mangga. Mentimun, bengkuang, wortel, tomat, dan mangga adalah bahan lokal yang murah tapi manfaatnya sangat dahsyat untuk kesehatan jantung kita.

Selamat menikmati hidangan Allah.

Sumber: www.rumahzakat.org

Superqurban


Superqurban. RZ memudahkan umat Islam yang berniat berbagi daging qurban dengan saudara di kawasan terpencil. Lewat Superqurban.
Superqurban RZ yang dirintis sejak tahun 2000 terus mengalami peningkatan. Hal ini tak terlepas dari pengelolaan yang terus berkembang dengan baik sejak tahun 2011 lalu. Superqurban adalah program optimalisasi pelaksanaan ibadah qurban dengan dikornetkan dan diolah secara modern.

Superqurban merupakan program satu-satunya di dunia,  yang dikembangkan di Indonesia yang telah dirintis sejak tahun 2000. Setelah terus mengalami perkembangan sejak tahun 2003, maka mulai tahun 2005 barulah semua proses pemotongan dan produksi di lakukan di daerah Probolinggo. “Superqurban mempunyai landasan Syar’i yaitu Dari Aisyah r.a, beliau berkata, “Dahulu kami biasa mengasinkan(mengawetkan) daging udhiyyah(qurban) sehingga kami bawa ke Madinah, tiba-tiba Nabi saw bersabda “Janganlah kalian menghabiskan daging udhiyyah(qurban)hanya dalam waktu tiga hari”.(HR. Bukhari-Muslim),

Melanjutkan kesuksesan Superqurban tahun-tahun sebelumnya,  tahun ini RZ membuka kesempatan seluas-luasnya untuk masyarakat dalam menjalankan ibadah qurbannya. Dan bagi yang berminat, para donatur masih dapat ikut berqurban dengan cara datang langsung ke RZ cabang terdekat.

Dengan berbagai kemudahan cukup dengan Rp 2.150.000,-/ekor Kambing, Rp 15.850.000,-/ekor Sapi atau retail (untuk 7 orang) @ Rp 2.400.000,- / Orang. Program kami jelas beda. Daging qurban tak dibagikan langsung habis sehari tapi kami kornetkan dalam bentuk kaleng @ 200 gram. Disembelih saat hari Qurban, sesuai syari, diolah dengan mesin canggih tetap klinis dan higienis. Distribusi bisa lebih panjang dan simpel menjangkau setiap pelosok nusantara. Tak perlu khawatir hewan sakit atau cacat saat tiba di lokasi.

Superqurban sebagai produk kaya manfaat ini telah dirasakan oleh saudara-saudara kita, seperti di wilayah Indonesia Timur, seperti Pulau Tello, Pulau Kayuwadi, Pulau Alor, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Sumba, dan Pulau Komodo (11 Juni 2013) yang ikut berpartisipasi dalam Ekspedisi Bhakti Kesra Nusantara bersama Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra).
Selain itu ditahun 2012 RZ juga pernah mengirimkan 50 ribu paket kornet Superqurban dalam Ekspedisi Bhakti Kesra Nusantara yang menyambangi  pulau-pulau terdepan Indonesia, seperti Pulau Maumere, Pulau Lembata, Pulau Buru, Pulau Morotai, Pulau Marampit, Pulau Marore, dan Pulau Balabalakang.***
http://www.rumahzakat.org

Rabu, 18 September 2013

Cara Menyembelih Hewan Qurban


Cara Menyembelih Hewan Qurban ada 2:

Nahr (arab: نحر), menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini adalah cara menyembelih hewan unta.
Allah berfirman

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا

Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah… (QS. Al Haj: 36)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir untuk ayat ini)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menyembelih unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud dan disahihkan Al-Albani).

Dzabh (arab: ذبح), menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dan sebagainya.

Pada bagian ini kita akan membahas tata cara Dzabh, karena Dzabh inilah menyembelih yang dipraktikkan di tempat kita -bukan nahr-.
Beberapa adab yang perlu diperhatikan:

1. Hendaknya yang menyembelih adalah shohibul Qurban sendiri, jika dia mampu. Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul qurban disyariatkan untuk ikut menyaksikan.

2. Gunakan pisau yang setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadits dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).

3. Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih).

4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.

5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadits tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).

Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’, 7:442).

6. Menginjakkan kaki di leher hewan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين، فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما يسمي ويكبر

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,

وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..

Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).

8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

9. Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan diqurbankannya herwan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul qurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul qurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul qurban).” (1)

Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama sohibul qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga qurban tetap sah meskipun ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul qurban.

10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan qurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.

11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama. Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر

“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

12. Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)

13. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.

Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat menyembelih, beliau mengatakan,

وتعمد إبانة رأس

“Diantara yang makruh adalah secara sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893).
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,

فإذا ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية

“Jika ada orang menyembelih, kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi Al-Kabir, 15:224).

Wallaahu'alam
Sumber : http://www.konsultasisyariah.com

Selasa, 17 September 2013

Hukumnya Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

1). Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup.
Contohnya, seseorang menyembelih seekor qurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan qurban Nabi saw untuk dirinya dan ahli baitnya (keluarganya), dan di antara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits dari Aisyah, beliau berkata, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai qurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai Aisyah, bawakan pisau”, kemudian beliau saw berkata: “Tajamkanlah dengan batu”. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi saw mengambil pisau tersebut dan mengambil domba,  menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan: “Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad,” kemudian menyembelihnya” [HR. Muslim].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Diperbolehkan menyembelih qurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [Majmu Al-Fatawa (23/164)].

Sehingga seseorang yang menyembelih qurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuklah semua ahli bait yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat maupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.
2). Menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum meninggalnya. Dalam kondisi yang kedua ini maka para ahli warisnya wajib menunaikannya walaupun diri mereka belum pernah melakukan penyembelihan qurban untuk diri mereka sendiri.

Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah saw dan berkata, ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Tunaikanlah untuknya.” (HR. Abu Daud)
    .
Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi saw dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”

Kandungan dari hadits itu adalah menunaikan hak-hak yang wajib terhadap orang yang sudah meninggal dan jumhur ulama berpendapat bahwa siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan nazar harta maka wajib ditunaikan dari pokok harta yang dimilikinya jika ia tidak berwasiat kecuali jika nazar itu terjadi disaat sakit menjelang kematiannya maka dari sepertiga hartanya. Sementara para ulama madzhab Maliki dan Hanafi mensyaratkan orang itu berwasiat. (Nailul Author juz XIII hal 287 – 288, Maktabah Syamilah)

Penyembelihan hewan qurban bisa menjadi wajib dikarenakan nazar, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Barangsiapa yang telah bernazar untuk menaati Allah maka hendaklah ia menaati Allah.” (HR. Bukhori Muslim) dan juga firman Allah, ”Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29) bahkan apabila orang yang melakukan nazar itu meninggal dunia, maka pelaksanaan nazar yang telah diucapkan sebelum meninggal dunia boleh diwakilkan kepada orang lain.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa daging sembelihan yang disebabkan melaksanakan nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang berqurban sama sekali, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i yang berbeda dengan pendapat para ulama madzhab Hambali bahwa disunnahkan memakan sembelihan darinya, yaitu sepertiga dimakan, sepertiga dibagikan kepada karib kerabat dan sepertiga disedekahkan. (Fatawa al Azhar juz IX hal 313, Maktabah Syamilah)
3). Menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat dan juga tidak ikut kepada yang hidup, yang ditujukan sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup,
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Pertama, sebagian ulama menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765).

Para ulama Hanafi dan Hambali berpendapat, diperbolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal, seakan-akan orang itu berqurban untuk orang yang masih hidup seperti halnya bershodaqoh dan memakannya sedangkan pahalanya bagi si mayit. (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 – 2744)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Diperbolehkan menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih qurban dan yang lainnya di kuburan” [Majmu Al-Fatawa (26/306)].

Kedua, sebagian ulama menyatakan tidak diperbolehkan. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau saw .

Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seidzinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39) . Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka diperbolehkan, hal itu dikarenakan wasiatnya, kemudian seluruh (sembelihannya itu) wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin.

Para ulama Maliki berpendapat makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk melaksanakannya. (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 – 2744)
Wallahu a’lam bi ash-shawab
sumber : http://www.rumahzakat.org

Makna Qurban




Qurban berasal dari kata qoroba, yang artinya mendekatkan diri. Jadi yang dimaksud dengan qurban adalah mendekatkan diri, dan dalam konteks keIslaman maknanya yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah  Subhanahu Wata’ala. Istilah lain dari ritual qurban ini adalah Udhiyyah, yaitu mempersembahkan atau memberikan sesuatu kepada tuhan dengan sesuatu yang dikorbankan, yang dalam konteks keIslaman sesuatu yang diqurbankan itu adalah hewan ternak seperti sapi, unta dan kambing.

Pada dasarnya ritual ibadah qurban itu sendiri sudah dilakukan sebelum kedatangan Islam. Orang-orang quraisy pada masa jahiliyah selalu melakukan ritual qurban yang dipersembahkan bagi patung-patung sesembahan mereka. Sebenarnya ritual qurban yang mereka lakukan pun berasal dari sejarah qurban Nabi Ibrahim yang mana perintah berqurban tersebut berasal dari Allah  dan dilakukan untuk memenuhi perintah tersebut yang kemudian diselewengkan menjadi ritual qurban yang di persembahkan untuk patung-patung sesembahan mereka.

Bahkan qurban pun sebenarnya sudah dilakukan ketika Allah  menurunkan manusia pertama ke dunia yaitu nabiyullah Adam, yang pada waktu itu Allah  memerintahkan kepada dua orang anak nabi Adam untuk melakukan ritual qurban. Salah satu anak nabi adam yaitu habil, mendatangkan persembahan yang terbaik untuk diqurbankan, sedangkan kobil mendatangkan persembahan yang terburuk yang menunjukan ketidak ikhlasannya dalam melakukan qurban yang diperintahkan Allah , yang menyebabkan tidak diterimanya qurban yang dilakukannya, sedangkan yang diterima adalah qurban yang dilakukan habil yang telah mendatangkan persembahan terbaik, dan apa yang dilakukan habil menunjukan keikhlasan dalam melaksanakan perintah qurban yang menjadikan qurbannya diterima disisi Allah . Kisah ini diceritakan dalam Al-qur’an surat Al-Maidah ayat 27 :

Artinya: \’\'Bacakanlah kepada mereka kisah tentang dua anak Adam sesuai dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima (persembahan itu oleh Allah ) dari seseorang di antara keduanya dan tidak diterima dari yang lain (lalu kata dia yang qurbannya tidak diterima) : Aku pasti membunuhmu. Dijawab: Sesungguhnya Allah  hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa.\’\’

Selain itu, ritual qurban pun dimiliki oleh agama dan kepercayaan lainnya yang sudah tentu dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan ritual qurban yang ada dalam agama Islam, seperti ketentuan dalam penyembelihan, jenis hewan yang diqurbankan dan tujuan dari pelaksanaan ritual qurban tersebut. Dan ritual qurban yang bersifat animisme merupakan ritual qurban yang dilakukan bukan untuk melaksanakan perintah dan untuk mendekatkan diri kepada Allah , tapi lebih cenderung kepada harapan akan mendapatkan manfaat dari melakukan ritual qurban ini dan  untuk menjauhkan diri dari bala bencana, yang didasarkan atas kecenderungan  kepada perasaan takut akan murka sesuatu yang menjadi sesembahan mereka.

Hal seperti ini masih terjadi pada sebagian kaum muslimin yang ada di Indonesia, yang notabene mereka merupakan kaum muslimin yang awan tentang agama mereka,  Mereka masih melakukan ritual-ritual qurban selain ritual qurban yang disyariatkan, untuk mengambil manfaat dan menjauhkan diri dari bala bencana, seperti yang banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia khususnya wilayah jawa, apabila ada musibah terjadi atau dikhawatirkan akan terjadi musibah maka mereka ramai-ramai melakukan ritual qurban dengan menyembelih ayam, sapi atau kambing untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang mereka khawatiri akan mendatangkan musibah tersebut.

Hal ini terjadi karena pada mulanya masyarakat Indonesia adalah masyarakat penganut animisme dinamisme. Setelah datangnya Islam ke negeri Indonesia, banyak terjadi percampuran antara apa yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebelumnya dengan kepercayaan dan agama baru Islam sehingga dampaknya banyak diantara masyarakat indonesia yang memeluk Islam tapi masih melakukan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebelum Islam datang yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam, dan hal  seperti ini masih berlangsung hingga sekarang.

Menurut KH. Miftah Faridh dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa dalam Islam, ada tiga macam ibadah yang dilakukan dengan penyembelihan hewan ;

1. AlHadyu. Yaitu ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan, dikhususkan bagi mereka yang melakukan ibadah Haji Tamattu, atau Qiron. Tidak terkecuali bagi para jamaah yang tidak menunda umrahnya hingga selesai melaksanakan haji, harus membayar Hadyu, dengan cara menyembelih hewan. Jamaah haji Indonesia, karena persoalan-persoalan teknis perjalanan haji, umumnya mengambil Haji Tamattu.

2. Aqiqah, yaitu ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan bagi mereka yang dianugrahi kelahiran seorang anak. Aqiqah dilaksanakan dengan ketentuan satu ekor kambing untuk kelahiran anak wanita, dan dua ekor untuk kelahiran anak pria. Aqiqah dilakukan oleh seseorang sebagai \”tebusan\” atas anugrah pemberian anak. Ia merupakan perwujudan ikrar serah terima amanah antara Allah  dan makhluk-Nya, karena anak pada dasarnya adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.

3. Udhhiyyah, yaitu menyembelih binatang tertentu pada Hari Raya qurban atau hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzul Hijjah) sebagai wujud kepatuhan seorang hamba kepada Allah  SWT. Pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa. Mereka harus \”menikmati\” bersama kesempatan yang disyariatkan ajaran ini, dengan cara mencairkan sekat-sekat sosial yang biasa menghambat komunikasi di antara sesamanya. Semua harus memperoleh makanan daging bersama.

Diambil dari buku Optimalkan Ibadah Qurban Anda, karya Iskandar Zulkarnaen

Ketentuan Dan Syarat Qurban


Orang yang disyariatkan berqurban adalah orang yang mampu melaksanakan qurban. Memang ada dua pendapat tentang syariat qurban ini. Pendapat pertama mewajibkan, inilah pendapat yang dianut oleh Imam Hanafi. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa hukum berqurban adalah sunnah muakkadah. Tapi inti dari kedua pendapat ini adalah bahwa berqurban disyariatkan kepada orang yang mampu. Berdasarkan hadits Rosulullah SAW, dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).

Adapun yang tidak mampu tidak disyariatkan berqurban, bahkan merekalah yang berhak menerima daging qurban.

Waktu Pelaksanaan Qurban

Waktu pelaksanaan qurban adalah setelah dilaksanakannya shalat ‘ied berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :

“Barang siapa menyembelih sebelum shalat hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai shalat maka menyembelihlah dengan bismillah”.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya pekerjaan pertama yang harus kita awali pada hari kita ini adalah shalat, kemudian kita pulang lalu menyembelih qurban. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka ia telah melaksanakan contoh kami dengan tepat dan barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat, maka ia hanya memberikan daging biasa kepada keluarga; sedikitpun tidak bersangkut paut dengan ibadah penyembelihan qurban.” (HR. Muslim).

Adapun masa diperbolehkannya melaksanakan qurban adalah selama hari-hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah hari adha, berdasarkan hadits Rasulullah dari Jubair bin Mut’im bahwa Rasul shallallahualaihi wa sallam bersabda :

“Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan”.(Dikeluarkan Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al-Baihaqi).

Jenis-jenis Hewan Qurban

Hewan yang disyaratkan dalam pelaksanaan ibadah qurban tidak semua jenis hewan, tapi hanya hewan ternak yang terdiri dari kambing dan yang sejenis, sapi dan yang sejenis, dan unta.

Jumlah Hewan Qurban Yang Diqurbankan

Tidak ada keterangan yang menyatakan adanya ketentuan dalam jumlah hewan qurban, sehingga jumlah hewan qurban tidak ada pembatasan dan penyembelihan hewan qurban disesuaikan dengan kemampuan.

Ketentuan Jumlah Orang Yang Berqurban


Islam telah menentukan ketetapan jumlah orang dalam berqurban sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Rosulullah SAW. Untuk kambing hanya diperbolehkan satu orang saja yang menjadi pequrban dan tidak boleh berpatungan dengan yang lainnya. Sedangkan sapi dan sejenisnya serta unta diperbolehkan berpatungan dengan jumlah tujuh orang. Hal ini berdasarkan hadits Rosulullah SAW :

“Kami menyembelih hewan pada saat Hudaibiyah bersama Rasulullah SAW. Satu ekor badanah (unta) untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang”.(HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmizy)

Dalam hadits lain disebutkan :”Seseorang laki-laki menjumpai Rasulullah saw. dan berkata, “Saya harus menyembelih Badanah (Sapi/Unta) dan saya memang seorang yang mampu, tetapi saya tidak mendapatkan Badanah itu untuk dibeli dan disembelih,” Rasulullah saw. kemudian menyuruh laki-laki itu membeli 7 ekor kambing untuk disembelihnya (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Abbas).

Demikian juga dalam riwayat Muttafaq �alaih dari Jabir, ia berkata : “Aku disuruh Rasulullah saw. bersekutu dalam seekor unta dan sapi untuk tujuh orang satu ekor badanah (sapi/unta)” (HR. Ahmad Bukhari dan Muslim), dan masih banyak riwayat lainnya yang menjelaskan masalah ini.

Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa hewan jenis sapi dan sejenisnya serta unta diperbolehkan berpatungan dengan jumlah tujuh orang. Sedangkan hewan jenis kambing tidak ada keterangan yang menyatakan boleh lebih dari satu orang. Karena itu para fuqaha sepakat bahwa kambing dan yang sejenisnya tidak boleh disembelih atas nama lebih dari satu orang.

Ketentuan Penyembelihan Hewan Qurban

Ada beberapa ketentuan dalam penyembelihan hewan qurban :

1. Niat berqurban karena Allah semata
Hal yang terpenting dalam proses ibadah qurban adalah niat. Niat adalah sesuatu yang asasi dalam ibadah qurban dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan niat ibadah seseorang diterima, dan dengan niat pula ibadah seseorang ditolak oleh Allah SWT. Bila niat kita berqurban dalam rangka taat kepada Allah dan menjalankan perintahnya, maka insya Allah ibadah qurban kita diterima disisi Nya. Sebaliknya jika niat kita berqurban dalam rangka yang lainnya, misalnya karena ingin dipuji, atau malu kalau tidak melaksanakan ibadah qurban, atau qurban yang dipersembahkan untuk selain Allah, maka qurban-qurban tersebut tidak ada manfaatnya dan tidak diterima disisi Allah.

2. Ketika menyembelih mengucapkan asma Allah
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor kibasnya yang bagus dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya di samping lehernya.”(HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).

Berkata Rafi bin Khadij, ya Rasulullah bahwa kami besok akan berhadapan dengan musuh dan kami tidak mempunyai pisau (buat menyembelih). Maka Nabi saw. bersabda, “Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebut dengan nama Allah padanya maka kamu makanlah (HR. Jama’ah)

3. Menyembelih dengan pisau yang tajam
Telah berkata Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak ditampakkan kepada binatang-binatang dan beliau bersabda, “Apabila seorang daripada kamu menyembelih maka hendaklah ia percepat kematiannya” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Disembelih tepat dikerongkongan/ leher
Telah berkata Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah mengutus Budail bin Warqa Al-Khuza’i dengan naik unta yang kehijau-hijauan supaya berteriak di jalan-jalan Muna (dengan berkata) : “ketahuilah bahwa sembelihan itu tepatnya di kerongkongan/lehernya”. (H.R. Daruquthni).

5. Disembelih oleh muslim
Ibadah qurban adalah ibadah yang diperintahkan dan disyariahkan oleh Allah kepada kaum muslimin dan tidak dibebankan kepada selain mereka, karena perintah ini berhubungan dengan masalah keyakinan dan kepercayaan. Karena umat Islam dalam menjalankan perintah ini didasari oleh ketaatan kepada perintah Allah. Dan dasar dari ketaatan ini adalah keyakinan dan kepercayaan kepada sesuatu yang dipercayai dan diyakininya, dalam hal ini adalah Allah SWT. Jadi bagaimana mungkin orang yang tidak meyakini dan mempercayai Allah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah?

Begitupun dengan penyembelihan harus dilaksanakan oleh orang Islam karena ibadah qurban adalah ibadahnya kaum muslimin dan semua proses ibadah dari awal sampai akhir harus dilakukan oleh kaum muslimin. Disamping itu, penyembelihan juga terkait dengan penyebutan asma Allah yang disebutkan oleh penyembelih, jika yang melakukan penyembelihan bukan orang Islam yang notabene mereka tidak mempercayai Allah, asma Allah mana yang mereka sebutkan, sedangkan mereka sendiri tidak mempercayai Allah?. Untuk itu, penyembelihan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, Karena masalah ini terkait dengan dua hal yang telah disebutkan diatas, yaitu kepercayaan dan penyebutkan asma Allah.

6. Tunggu ternak tersebut sampai mati sempurna
Jika hewan qurban telah disembelih, maka biarkanlah hewan tersebut sampai mati dan jangan dikuliti atau dipotong anggota tubuhnya sebelum benar-benar mati. Karena jika hal ini dilakukan akan menyiksa hewan tersebut, dan ini adalah hal yang dilarang.

7. terputus urat leher, yaitu Hulqum (jalan napas), Mari� (jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf).

Telah berkata Ibnu Abbas dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah melarang syarithatusy-syaitan yaitu (sembelihan) yang disembelih hanya putus kulitnya dan tidak putus urat lehernya (H.R. A. Dawud)

Ketentuan-ketentuan Lain
Bagi yang Memiliki Qurban, jangan Memotong Rambut dan Kukunya setelah Masuknya 10 Dzul Hijjah hingga Dia Berqurban

“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong, pent) rambut dan kukunya.”(HR. Muslim).

Imam Nawawi berkata: “Maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacamnya, memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut,mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan (Syarah Muslim 13/138).”

Orang Yang Melakukan Penyembelihan Tidak Boleh Diberi Upah Dari Hewan Qurban


Apabila penyembelihan dilakukan oleh orang lain atau tukang potong dan perlu diberi upah, maka upah itu tidak boleh diambil dari hewan qurban tersebut, misalnya upah tukang potong adalah kepala kambing atau kulit kambing dan sebagainya. Jika penyembelih atau pemotong hewan tersebut termasuk orang yang berhak menerima daging qurban, itu adalah hal lain. Jika orang itu berhak menerima daging qurban, apakah ia sebagai penyembelih atau bukan, ia tetap berhak mendapatkannya. Ia mendapatkan daging qurban itu bukan sebagai penyembelih, tetapi sebagai orang yang berhak. Dalam suatu hadits dinyatakan :

“Saya diperintah oleh Rasulullah saw untuk menyembelih unta-untanya, membagi-bagikan kulit dan dagingnya dan saya diperintahkan agar tidak memberikan sesuatupun daripadanya kepada tukang potong.” (HR, Jamaah).

Dalam hadits lainnya dari Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata :
“Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan qurbannya dan membagi-bagi dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari qurban tersebut.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitupun daging sembelihan, kulit, bulu dan yang bermanfaat dari qurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur ulama.

Bersedekah Dari Hewan Qurban, Memakan dan Menyimpan Dagingnya


Orang yang berqurban boleh memakan sebagian daging qurbannya, hal ini dinyatakan dalam firman Allah SWT :

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah SWT pada hari yang ditentukan (Hari Adlha dan Tasyrik) atas rizki yang Allah SWT telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj : 28).

Bagi yang menyembelih disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan kepada karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpannya untuk perbekalan atau simpanan. Rosulullah saw bersabda :

“Makanlah, simpanlah untuk perbekalan dan bershadaqahlah.”(HR.Bukhari Muslim).

Aisyah RA, “Dahulu kami biasa mengawetkan daging qurban (udhhiyyah) sehingga kami membawanya ke Madinah, tiba-tiba Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian menghabiskan daging qurban hanya dalam waktu tiga hari”. (HR Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Syarat-syarat hewan qurban:
1. Cukup Umur
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bahwasannya Rasulullah saw bersabda., “Jangan kamu menyembelih untuk qurban melainkan yang �mussinah� (telah berganti gigi) kecuali jika sukar didapat, maka boleh berumur satu tahun (yang masuk kedua tahun) dari kambing/domba” (HR. Muslim)

Hadits lain dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih Al-Jadz’ah” (HR. Muslim dan Abu Daud).

Syaikh Al-Albani menerangkan :
- Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau kibas. Umur kambing adalah ketika masuk tahun ketiga, sedangkan unta, masuk tahun keenam.
- Al-jazaah yaitu kambing atau kibas yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama (Silsilah Ad-Dlaifah 1/160).

Salah satu hikmah dan manfaat disyariatkannya hewan qurban yang cukup umur adalah bahwa hewan qurban yang cukup umur akan menghasilkan daging yang berprotein tinggi dengan kadar asam amino yang lengkap, mudah dicerna, begitu pula teksturnya empuk.sedangkan ternak yang belum cukup umur akan menghasilkan daging yang lembek begitu pula yang telah tua sekali akan menghasilkan daging yang alot, sulit dicerna serta tidak berlemak yang menyebabkan rasa daging tidak lezat.

2. Sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Binatang yang akan disembelih untuk ibadah qurban adalah binatang yang sehat, dan tidak boleh binatang yang sakit, cacat, atau hilang sebagian tubuhnya, seperti kambing yang kurus, lemah, tidak berlemak, buta sebelah matanya, pincang, terpotong telinganya atau bagian tubuh lainnya.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits : “Tidak bisa dilaksanakan qurban binatang yang pincang, yang nampak sekali pincangnya, yang buta sebelah matanya dan nampak sekali butanya, yang sakit dan nampak sekali sakitnya dan binatang yang kurus yang tidak berdaging.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan disahihkan oleh Tirmidzi dari Bara bin Azib bahwasannya Rosulullah saw bersabda.: “Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban yaitu, yang rusak matanya, yang sakit, yang pincang, yang kurus dan tidak berlemak lagi.”

Juga riwayat Ahmad, An-Nasai, Abu Daud At-Tirmidzi dan Ibn Majah dari Ali ra yang menyatakan, “Rasulullah saw mencegah kita berqurban dengan hewan yang tercabut tanduknya, terputus sebagian kupingnya”

Dari ketentuan-ketentuan di atas, bila dikaji, hewan qurban yang sehat akan menghasilkan daging yang bebas dari penyakit yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging tersebut karena banyak di antara penyakit hewan yang bersifat zoonosis artinya penyakit yang berasal dari hewan yang hasilnya secara langsung ataupun tidak langsung dapat menular kepada manusia. Jenis-jenis penyakit tersebut seperti mad cow atau sapi gila, anthrax, dan juga flu burung yang pada saat ini sedang mewabah dan sudah banyak korban.
Wallaahu'alam
sumber : http://www.rumahzakat.org

Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Ibadah Qurban


1. Dimensi Tauhid

Ibadah qurban mempunyai nilai ketauhidan yang sangat kental. Ritual ibadah qurban merupakan momen untuk mengenang kembali perjuangan monoteistik yang dilakukan oleh nabi Ibrahim. Yaitu seorang nabi sholeh yang dikenal sebagai bapak tauhid.

Dalam konteks ketauhidan, ibadah qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan mengorbankan anak yang dicintainya mengajarkan kepada manusia sikap bertauhid yang sesungguhnya. Nabi Ibrahim mampu membebaskan dirinya dari penghambaan kepada materi (dalam hal ini anak yang dicintainya) menuju penghambaan kepada Allah semata. Melalui ibadah qurban ini nabi Ibrahim memperlihatkan keimanan, ketundukan dan ketaatannya hanya kepada Allah. Nabi Ibrahim juga telah berhasil melepaskan diri dari kelengketannya kepada dunia, baik jasadnya, jiwanya, hatinya, maupun ruhnya, karena kelengketan kepada dunia akan menjadi penghalang seseorang untuk melakukan pengorbanan, ketaatan maupun kepatuhan dalam menjalankan perintah Allah.

Di sisi lain, nilai tauhid yang ada dalam kisah qurban nabi Ibrahim adalah pengorbanan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim diperuntukan bagi Allah semata tidak untuk selain-Nya. Kisah qurban ini menegaskan penyangkalan dan pelarangan melakukan ibadah yang dilaksanakan untuk sesembahan selain Allah, seperti melakukan qurban yang diperuntukan bagi penjaga pantai selatan agar tidak menimpakan bencana, atau melakukan qurban yang diperuntukan bagi sesuatu yang akan mendatangkan manfaat, padahal yang dapat menimpakan bencana dan mendatangkan maslahat hanyalah Allah semata.

2. Dimensi Spiritual

Ibadah qurban merupakan sarana pembuktian keimanan kita kepada Allah . Keimanan meliputi keikhlasan, yang berarti ibadah qurban yang kita lakukan harus murni dilakukan hanya semata-mata karena Allah  dan dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Ibadah qurban yang dilaksanakan bukan karena Allah , misalnya karena malu dilihat masyarakat bila tidak berqurban, atau karena ingin dilihat sebagai orang yang rajin melaksanakan ibadah, atau bahkan yang lebih parah berqurban yang dimaksudkan untuk sesembahan selain Allah, Ibadah seperti itu tidak akan pernah diterima disisi Allah, bahkan pelakunya akan mendapatkan dosa dari apa yang telah dilakukannya.

Jadi, dalam pelaksanaan ibadah qurban sangat dituntut adanya keikhlasan yang tumbuh dari dalam hati, sehingga dengan keikhlasan, ibadah qurban kita akan diterima disisi Allah . Dengan adanya ritual ibadah qurban, diharapkan dapat menumbuhkan dan mengasah keikhlasan, karena keikhlasan, sebagaimana halnya keimanan, akan selalu naik dan turun, akan selalu menguat dan melemah.

Keimanan juga meliputi ketaatan, yang berarti ibadah qurban yang kita laksanakan harus didasari atas ketaatan kita kepada perintah Allah  dan bukan didasari atas ketaatan kepada selain-Nya. Diharapkan dengan adanya ritual ibadah qurban  dapat meningkatkan ketaatan kita kepada Allah  dalam segala bentuk ketaatan, baik ketaatan dalam menjalankan perintah Allah , maupun ketaatan dalam menjauhi segala larangan-Nya.

Keimanan juga meliputi pengorbanan, yang mana pengorbanan ini direfleksikan dalam bentuk materi yang kita persembahkan, yaitu hewan, yang dengannya kita telah mengeluarkan harta yang kita cintai demi melaksanakan perintah Allah. Ritual ibadah qurban telah melatih kita untuk selalu siap berkorban, sebagaimana halnya Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anak yang dicintainya, demi menjalankan perintah Allah.

3. Dimensi Sosial

Di samping nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ibadah qurban, juga terdapat nilai-nilai sosial. Dan memang dalam setiap ibadah yang Allah  syariatkan diantaranya  terkandung nilai-nilai sosial, seperti zakat, shadaqah, waqaf, shalat, haji, puasa, aqiqah, dan sebagainya. Islam adalah agama yang tidak dapat dipisahkan dari sosial, sehingga banyak kita temukan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang terkandung didalamnya nilai-nilai sosial-kemanusiaan, seperti berbuat baik kepada tetangga, menolong orang lain, berbakti kepada kedua orang tua, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit, memberi makan fakir miskin, dan sebagainya.

Apa yang telah disebutkan diatas adalah ajaran-ajaran Islam yang semuanya mengandung nilai-nilai sosial, karena Islam adalah agama dunia dan akhirat. Islam tidak hanya membicarakan masalah-masalah akhirat yang menjelaskan tentang tata cara ibadah yang mengatur hubungan kita dengan Allah , tapi Islam juga membicarakan bagaimana hubungan kita dengan manusia, yang semua itu kita sebut dengan hubungan sosial.

Oleh sebab itu, tujuan ibadah qurban (juga ibadah lainnnya) bukan hanya untuk mencapai kemaslahatan ukhrowi, tapi juga bertujuan bagi kemaslahatan duniawi, karena setiap pensyari’atan dalam Islam, terkandung tujuan syari’at (yang disebut oleh para ulama dengan maqoshidus syari’ah), yaitu tercapainya kemaslahatan dunia dan akhirat.

4. Dimensi moral

Ibadah qurban juga mengandung pesan-pesan moral yang ditunjukan dengan simbol-simbol yang ada dalam ritual ibadah qurban.

a) Sejarah qurban nabi Ibrahim merupakan sejarah yang penuh dengan nilai pengorbanan. Bagaimana tidak, nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk mengorbankan anaknya,  dibayang-bayangi hilangnya sebuah generasi yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri. Bagi kebanyakan masyarakat, ada pendapat yang menyatakan bahwa anak jauh lebih berharga daripada harta. Ada istilah yang menyatakan lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan anak, apalagi jika anak itu merupakan anak yang dicintai dan selalu dinanti-nantikan kehadirannya sebagaimana halnya Ismail.

Berdasarkan istilah ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kerelaan nabi Ibrahim dalam mengorbankan anaknya yang dicintai secara otomatis menandakan kerelaannya pula dalam mengorbankan segala hal yang dimilikinya.

Kata “pengorbanan” yang dimunculkan dalam ritual ibadah qurban ini mempunyai arti yang sangat penting. Pengorbanan merupakan salah satu bentuk sikap moral yang apabila diaplikasikan oleh berbagai lapisan masyarakat dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan. Orang kaya yang mau berkorban dengan hartanya untuk orang-orang miskin mampu memberikan solusi bagi permasalahan orang-orang miskin disekitarnya.

Para pemimpin yang rela berkorban dengan meninggalkan hawa nafsu dan egonya akan melakukan sesuatu (melalui kebijakan-kebijakannya) bagi kemaslahatan umum masyarakat, bukan bagi kemaslahatan pribadi dan golongan. Dan yang lebih jauh lagi kaum muslimin harus rela berkorban baik harta, jiwa, maupun tenaga dan fikirannya untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim.

b) Binatang adalah sesuatu yang dikorbankan dan disembelih dalam proses ritual ibadah qurban. Binatang merupakan simbol keburukan yang ada pada diri manusia. Sifat-sifat keburukan yang ada pada diri selalu diidentikan dengan sifat-sifat kebinatangan. Allah dalam beberapa ayat Al-qur’an mengumpamakan sesuatu yang buruk yang ada pada diri manusia dengan binatang.

Maka, dengan adanya ibadah qurban menyiratkan bahwa sifat-sifat dan karakter kebinatangan yang tidak mempunyai aturan, yang menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsunya meskipun harus mendhalimi yang lain, harus dihapuskan dari dalam diri manusia.

c) Ketika nabi Ibrahim akan menyembelih Ismail, lalu Allah menggantikan Ismail dengan seekor binatang, memberikan pelajaran bahwa kita harus menghargai nyawa manusia. Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa barang siapa yang menghilangkan nyawa seorang manusia, seolah-olah telah menghilangkan nyawa manusia seluruhnya, karena nyawa manusia penting artinya bagi hidup dan kehidupan.

d) Ibadah qurban yang dipelopori bapak tauhid nabi Ibrahim mempunyai makna pembebasan manusia dari kesewenang-wenangan manusia atas manusia lainnya. Ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor binatang, tersirat pesan yang menyatakan agar manusia tidak lagi menginjak-injak harkat dan derajat manusia dan kemanusiaan.

Di sisi lain, kisah qurban nabi Ibrahim menegaskan bahwa tuhannya nabi Ibrahim bukanlah tuhan yang haus darah manusia, Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com