Pengemasan daging qurban dalam kaleng (kornetisasi) merupakan salah
satu upaya yang dilakukan untuk optimalisasi pelaksanaan ibadah qurban
dalam rangka menjamin agar daging qurban lebih awet dan memiliki daya
tahan yang lebih lama. Keuntungan lain dari daging qurban dikornetkan
adalah daging tersebut dapat mencapai masyarakat dan tempat yang lebih
luas lagi, bahkan sampai daerah-daerah pelosok yang sulit dijangkau atau
daerah-daerah bencana . Contoh tentang hal ini sebagaimana yang telah
dilakukan di beberapa Negara Islam, misalnya Saudi Arabia, yang telah
mengirim daging qurban dikornetkan ke berbagai Negara muslim yang miskin
di seluruh dunia atau lokasi-lokasi bencana yang memerlukan bantuan
bahan makanan. Hal ini tidak akan dapat dilakukan apabila daging
tersebut tidak dikornetkan. Kornetisasi ini mempunyai landasan hukum
yang jelas dan didukung oleh banyak ulama. Adapun dalil yang
memperbolehkan daging qurban dikornetkan/diawetkan adalah:
1. Pada awalnya Rasulullah saw sempat melarang para sahabat untuk
memakan daging kurban setelah tiga hari, sebagaimana digambarkan dalam
Hadits Aisyah ra ia berkata ” Dahulu kami biasa mengasinkan daging udhhiyah (qurban) sehingga kami bawa ke Madinah, tiba-tiba Nabi saw
bersabda: “Janganlah kalian menghabiskan daging kurban kecuali dalam
waktu tiga hari” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, setelah itu
Rasulullah saw memperbolehkan untuk menyimpan atau mengawetkan daging qurban. Larangan ini bukan untuk mengharamkan, melainkan agar banyak
orang miskin yang mendapat bagian darinya dalam rangka membantu
kelangsungan hidup mereka akibat paceklik, hal ini sebagaimana
dijelaskan pada hadits Salamah bin al-Akwa, berkata: Nabi SAW bersabda,
”Siapa yang menyembelih qurban maka jangan ada sisanya sesudah tiga hari
di rumahnya walaupun sedikit. Tahun berikutnya orang-orang bertanya: Ya
Rasulullah apa kami harus berbuat seperti tahun lalu? Nabi saw
menjawab, ”Makanlah dan berikan kepada orang-orang dan simpanlah
sisanya. Sebenarnya, tahun lalu banyak orang yang menderita kekurangan
akibat paceklik, maka aku ingin kalian membantu mereka.”
2. Hadits Jabir bin Abdullah ra berkata: “Dulu kami tak makan daging qurban lebih dari tiga hari di Mina, kemudian Nabi saw mengizinkan dalam
sabdanya, ”Makanlah dan bekalilah dari daging qurban.” Maka kami pun
makan dan berbekal. (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Sabda Nabi saw: “Wahai penduduk Madinah, janganlah kamu memakan
daging qurban di atas tiga hari.” Lalu orang-orang mengadu kepada Nabi
SAW, bahwa mereka mempunyai keluarga, kerabat, dan pembantu. Maka Nabi
SAW bersabda,”[Kalau begitu] makanlah, berikanlah, tahanlah, dan
simpanlah!” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan, boleh tidaknya menyimpan (iddikhar) daging qurban, bergantung pada ‘illat (alasan penetapan hukum), yaitu ada
tidaknya hajat. Jika tidak ada hajat, tidak boleh menyimpan. Jika ada
hajat, boleh. Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 6/48 berkata,”Larangan
menyimpan daging qurban tidaklah di-nasakh (dihapus), melainkan karena
ada suatu ‘illat. Jika ‘illat itu hilang, larangan hilang. Jika illat
itu ada lagi, maka larangan pun ada lagi.” jadi, jelaslah bahwa menyimpan daging qurban
dengan cara mengawetkannya, baik dengan dikornetkan, diasinkan,
didendeng atau dengan cara lainnya hukumnya boleh dilakukan, apalagi
bila memiliki tujuan dan manfaat khusus, seperti kepraktisan untuk
didistribusikan ke daerah yang sangat membutuhkan atau daerah bencana.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah daging qurban yang dikornetkan
tersebut harus dipotong atau disembelih pada saat Hari Raya Idul Adha
maupun hari Tasyrik. Meskipun pemanfaatannya bisa dilakukan di luar
hari-hari tersebut. Jika penyembelihan melampaui batas tersebut, qurbannya tidak sah, sehingga daging kornet pun hanya dianggap daging
kalengan biasa, bukan pelaksanaan ibadah qurban, dalilnya adalah sabda
Nabi SAW: “Setiap sudut kota Makkah adalah tempat penyembelihan dan
setiap hari-hari Tasyriq adalah [waktu] penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu
Majah, Al-Baihaqi, Thabrani, dan Daruquthni). (Syaikh Al-Albani
berkata,”Hadis ini sahih.” Lihat Shahih Al-Jami` Ash-Shaghir, 2/834).
Imam Syafi’i dalam Al-Umm 2/222 berkata,”Jika matahari telah terbenam
pada akhir hari-hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah], lalu seseorang
menyembelih qurbannya, maka kurbannya tidak sah.”
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI),
DR (HC). KH Ma’ruf Amin, yang mengungkapkan bahwa daging kurban boleh
dikornetkan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. “Pada era modern
ini, daging qurban itu jumlahnya banyak sekali. Sehingga tidak bisa
dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan pada saat berlangsungnya
Hari Raya Idul Adha saja. Oleh karena itu, supaya daging kurban awet dan
tidak mubazir boleh dikemas dalam bentuk kornet atau didendeng,
sehingga bisa diberikan kepada orang yang membutuhkan pada hari lain,”
“Terkait dengan larangan menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari,
hal tersebut harus disesuaikan dengan konteks keadaannya.Namun hal yang
perlu diperhatikan, daging qurban yang dikornetkan tersebut harus
dipotong atau disembelih pada saat Hari Raya Idul Adha maupun hari
Tasyriq”.
Mudah-mudahan penjelasan yang disampaikan bisa bermanfaat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
sumber:http://www.rumahzakat.org
sumber:http://www.rumahzakat.org
0 komentar:
Posting Komentar