Selasa, 30 September 2014
Kelebihan Superqurban 2018
By Yan Yan Budiman20.31Keunikann Berkurban dengan Superqurban, Yang Beda Dari SuperqurbanNo comments
Senin, 29 September 2014
Aplikasi Teknologi Pengolahan Pangan Dalam Program Superqurban
By Yan Yan Budiman02.59Proses Pengemasan Daging Hewan Kurban di Rumah Zakat, Teknik Pengalengan Superqurban, Teknologi SuperqurbanNo comments
Oleh: Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.
Akhir tahun 1790 Perancis dalam keadaan perang melawan Rusia dan mengalami kesulitan memberi makan penduduk dan pasukan perangnya yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte, maka sayembara untuk dapat menambah daya tahan makanan pun digelar. Nicolas Appert, seorang pembuat kembang gula yang bekerja di sebuah dapur sederhana menemukan bahwa makanan yang dipanaskan di dalam suatu kemasan yang tertutup rapat tetap awet bila kemasannya tidak dibuka lagi atau tutupnya tidak bocor. Penemuan inilah awal dari revolusi proses pengalengan makanan sehingga daya tahannya semakin lama.
Kini teknik pengalengan diartikan sebagai pengolahan pangan dan tindakan upaya meningkatkan daya tahan makanan menggunakan suhu tinggi. Tahap-tahap proses pengalengan secara umum terdiri dari persiapan bahan mentah (pemilihan, pemotongan, pencucian), blanching, pengisian, pengampasan (exhausting), penutupan, sterilisasi dan pendinginan. Hal ini lah yang diterapkan dalam proses kornetisasi daging yang tampaknya kini pun menjadi bahan garapan RZ (Rumah Zakat ).
Pengolahan pangan hakikatnya adalah suatu proses yang ditujukan untuk memasak, merubah bentuk, menambah daya tahan, dan meningkatkan cita rasa dari suatu bahan pangan. Dengan teknologi pengolahan pangan diharapkan ada penambahan manfaat dari bahan makanan tersebut baik dari segi kepraktisannya, kemudahan distiribusi, serta daya tahannya. Bahkan kita bisa merekayasa kandungan nutrisi dalam makanan sesuai dengan kebutuhan orang per orang, untuk mereka yang malnutrisi misalnya.
Saat Hari Raya Qurban di Indonesia kecenderungannya adalah sediaan daging selalu berlebih, sebaiknya ada satu upaya yang diimplementasikan untuk menambah manfaat dari daging tersebut. Orang-orang Indonesia dahulu sebetulnya sudah memakai teknik untuk menambah daya tahan makanan seperti ini, seperti membuat daging rendang bumbu kacang, dendeng, atau cara lain sebagai ransum makanan saat perjalanan ibadah haji.
Rumah Zakat Indonesia mengambil tindakan yang tepat dengan mengaplikasikan teknologi pengalengan (kornetisasi), dalam hal ini daging Qurban yang sudah dikalengkan akan berfungsi seperti persediaan pangan untuk tentara yang sedang berperang. Siap didistribusikan dan siap disantap begitu diperlukan. Program ini akan sangat membantu ketika terjadi bencana, daya tahan, kepraktisan, dan kemudahan pendistribusian menjadi beberapa entitas program Superqurban.
Berdasarkan tinjauan tentang pengolahan pangan, sebaiknya Rumah Zakat Indonesia meneruskan proses kornetisasi daging Qurban ini. Saat ini kemasan kornet Superqurban sudah bagus, label warna merah sangat cocok untuk identitas produk daging yang dikalengkan, terlebih lagi rasanya juga enak. Riset dan pengembangan tentang teknik-teknik pengolahan lain pun seperti pembuatan dendeng, abon, ataupun rendang mungkin bisa menjadi alternatif lain sebagai antisipasi kejenuhan variasi bahan makanan.***
Penulis sekarang menjabat Kepala Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, lahir di Yogyakarta 9 April 1948. Lulusan Program Doktoral Doktoral Ilmu Pangan Univ. De Nantes Perancis ini juga Kini tengah menjalani rangkaian fit and proper test untuk menjadi Rektor IPB.
sumber : https://www.rumahzakat.org
Hukum Memberi Daging Qurban Kepada Non Muslim
Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging qurban
kepada non-Muslim.
Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan
makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging qurban kedudukannya
sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Imam al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat,
daging qurban boleh dibagikan kepada non-Muslim yang fakir miskin. Sedangkan
Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan
bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan qurban kepada mereka.
Al-Laits berpendapat jika daging itu dimasak kemudian
non-Muslim dari kalangan ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara
hukum qurban sunah dengan qurban wajib. Qurban wajib di antaranya adalah qurban
nazar. Jika daging qurban berasal dari qurban sunah seperti saat Idul Adha
karena ada kemampuan, maka boleh daging qurban dibagikan kepada Non-Muslim.
Sementara jika qurbannya termasuk wajib maka memberikannya kepada non-Muslim
dilarang.
Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat, yang paling kuat adalah
kebolehan memberikan daging qurban kepada non-Muslim. Terlebih kondisi mereka
kekurangan. Hikmahnya adalah dengan kebaikan yang diberikan ada nilai positif
kepada umat Islam.
Dengan itu siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim.
Dalam ahkamul fukaha disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.
Kitab kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini
menyebut diperbolehkannya memberikan daging qurban kepada non-Muslim zimmi.
Namun, syaratnya daging qurban itu dari qurban sunah bukan yang wajib.
Al-Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya
tidak memberikan bagian apa pun dari qurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika
seorang fakir miskin Muslim menerima daging qurban, ia tetap tidak boleh memberikan
daging tersebut kepada non-Muslim.
Minggu, 28 September 2014
Kambing Qurban 2018 Rumah Zakat
Harga kambing qurban 2018
Berat Hidup: 20 kg s.d 25 kg
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian
Prediksi keluaran kornet : +/ 35 kaleng
Prediksi keluaran rendang : +/ 25 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.375.000,00
(Merupakan harga hewan qurban yang diolah dalam bentuk kornet & rendang superqurban, sehingga adanya optimalisasi dalam pendistribusiannya)
Informasi lebih lanjut hubungi :
Yan Yan Budiman
087822429564
yanyan.budiman@rumahzakat.org
Berat Hidup: 20 kg s.d 25 kg
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian
Prediksi keluaran kornet : +/ 35 kaleng
Prediksi keluaran rendang : +/ 25 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.375.000,00
(Merupakan harga hewan qurban yang diolah dalam bentuk kornet & rendang superqurban, sehingga adanya optimalisasi dalam pendistribusiannya)
Informasi lebih lanjut hubungi :
Yan Yan Budiman
087822429564
yanyan.budiman@rumahzakat.org
Jumat, 26 September 2014
Niat Dalam Melaksanakan Ibadah Qurban
Masalah niat, telah menjadi masalah sangat penting dalam ibadah seorang mukmin. Wajar saja jika tema ini menjadi pertanyaan yang cukup banyak ditanyakan. Pada kesempatan ini, sejenak akan kita bahas tentang niat dalam berqurban.
Pertama, ibadah qurban sebagaimana layaknya ibadah lainnya, harus dilakukan dengan niat. Adanya niat merupakan syarat sah berqurban. An-Nawawi mengatakan:
والنية شرط لصحة التضحية
“Niat adalah syarat sah berqurban.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/380).
Kedua, ulama sepakat bahwa niat tidak perlu dilafalkan. Karena niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Seseorang mengucapkan A, namun tidak sesuai dengan isi hatinya maka tidak dihitung sebagai niat. Karena itu, tidak ada lafal niat yang tidak mungkin dipahami oleh orang yang mengucapkannya.
Kaitannya dengan hal ini, ada beberapa orang yang bingung dan bertanya tentang niat satu ibadah. Niat ibadah qurban misalnya. Kemudian dia mendapatkan jawaban, bahwa niat amal ini bunyinya : nawaitu al-udhiyata bi syaatin lillahi ta’ala. Dia ucapkan teks niat ini ketika hendak menyembelih, sementara dia sama sekali tidak tahu artinya. Lalu, bagaimana mungkin ucapan ini bisa disebut niat. Padahal dia tidak paham dengan niat yang dia ucapkan.
Selama anda sudah punya keinginan untuk menyembelih hewan x sebagai qurban, maka anda sudah dianggap berniat untuk melakukan qurban.
Ketika anda mentransfer uang ke panitia qurban, anda sudah dianggap telah berniat qurban. Pada saat anda ditanya, uang senilai 1,9 jt. yang anda kirim ini untuk apa? Anda tidak mungkin menjawab: “Ya, terserah takmir masjid, mau dipake pembangunan juga boleh.” Sementara anda berkeinginan agar uang itu digunakan untuk membeli hewan qurban.
Ketiga, Ucapan yang dilantunkan ketika menyembelih: Allahumma hadza minka wa laka annii (Ya Allah, ini nikmat dari-Mu, qurban untu-Mu, dariku) bukan niat tapi hanya i’lan (mengabarkan). Dia ucapkan itu, sebagai bentuk mengabarkan apa yang ada dalam hatinya.
Imam Ibnu Utsaimin, ulama yang bergelar faqihuz zaman, pernah ditanya, apakah lafal yang diucapkan ketika menyembelih termasuk bentuk melafalkan niat?
Beliau menjawab:
ليس هذا تلفظاَ بالنية ، “لأن قول المضحي : هذه عني وعن أهل بيتي ، إخبار عما في قلبه ، لم يقل اللهم إني أريد أن أضحي . كما يقول من يريد أن ينطق بالنية ، بل أظهر ما في قلبه فقط ، وإلا فإن النية سابقة من حين أن أتى بالأضحية وأضجعها وذبحها فقد نوى” انتهى .
“Ini bukan bentuk melafalkan niat. Karena perkataan orang yang menyembelih: ‘Ini qurban dariku dan keluargaku’ sifatnya sebatas memberitakan apa yang ada dalam hatinya. Karena dia sendiri tidak mengatakan: ‘Ya Allah, saya ingin berqurban.’ Sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang melafalkan niat. Akan tetapi yang dilakukan orang ini hanya menampakkan apa yang ada di hatinya saja. Kerena sesungguhnya niatnya sudah ada ketika hewan qurbannya dibawa, kemudian dibaringkan dan disembelih, berarti dia sudah niat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 22/20)
Keempat, Apakah niat qurban harus bersamaan dengan menyembelih qurban?
Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’;
وَهَلْ يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا عَلَى حَالَةِ الذَّبْحِ أَمْ يُشْتَرَطُ قَرْنُهَا بِهِ، فِيهِ وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا: جَوَازُ التَّقْدِيمِ كَمَا فِي الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ عَلَى الْأَصَحِّ
Bolehkah mendahulukan niat sebelum menyembelih qurban, ataukah disyaratkan harus membarengkan niat dengan menyembelih?
Dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab syafiiyah: pendapat yang paling kuat, boleh mendahulukan niat sebelum menyembelih, sebagaimana untuk puasa dan zakat, menurut pendapat yang kuat. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/406).
Kelima, Orang yang mewakilkan penyembelihan qurban kepada jagal, yang berniat bukan jagalnya tapi pemilik hewan qurban itu. Sementara yang diucapkan oleh si jagal, hanyalah mengabarkan bahwa qurban ini dari si Fulan. Si Jagal mengucapkan: Allahumma hadza ‘an Fulan [Ya Allah, ini dari Fulan]. Andaipun si jagal tidak mengucapkan kalimat pemberitaan ini, qurban tetap sah.
Wallahu a’lam.
Pertama, ibadah qurban sebagaimana layaknya ibadah lainnya, harus dilakukan dengan niat. Adanya niat merupakan syarat sah berqurban. An-Nawawi mengatakan:
والنية شرط لصحة التضحية
“Niat adalah syarat sah berqurban.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/380).
Kedua, ulama sepakat bahwa niat tidak perlu dilafalkan. Karena niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Seseorang mengucapkan A, namun tidak sesuai dengan isi hatinya maka tidak dihitung sebagai niat. Karena itu, tidak ada lafal niat yang tidak mungkin dipahami oleh orang yang mengucapkannya.
Kaitannya dengan hal ini, ada beberapa orang yang bingung dan bertanya tentang niat satu ibadah. Niat ibadah qurban misalnya. Kemudian dia mendapatkan jawaban, bahwa niat amal ini bunyinya : nawaitu al-udhiyata bi syaatin lillahi ta’ala. Dia ucapkan teks niat ini ketika hendak menyembelih, sementara dia sama sekali tidak tahu artinya. Lalu, bagaimana mungkin ucapan ini bisa disebut niat. Padahal dia tidak paham dengan niat yang dia ucapkan.
Selama anda sudah punya keinginan untuk menyembelih hewan x sebagai qurban, maka anda sudah dianggap berniat untuk melakukan qurban.
Ketika anda mentransfer uang ke panitia qurban, anda sudah dianggap telah berniat qurban. Pada saat anda ditanya, uang senilai 1,9 jt. yang anda kirim ini untuk apa? Anda tidak mungkin menjawab: “Ya, terserah takmir masjid, mau dipake pembangunan juga boleh.” Sementara anda berkeinginan agar uang itu digunakan untuk membeli hewan qurban.
Ketiga, Ucapan yang dilantunkan ketika menyembelih: Allahumma hadza minka wa laka annii (Ya Allah, ini nikmat dari-Mu, qurban untu-Mu, dariku) bukan niat tapi hanya i’lan (mengabarkan). Dia ucapkan itu, sebagai bentuk mengabarkan apa yang ada dalam hatinya.
Imam Ibnu Utsaimin, ulama yang bergelar faqihuz zaman, pernah ditanya, apakah lafal yang diucapkan ketika menyembelih termasuk bentuk melafalkan niat?
Beliau menjawab:
ليس هذا تلفظاَ بالنية ، “لأن قول المضحي : هذه عني وعن أهل بيتي ، إخبار عما في قلبه ، لم يقل اللهم إني أريد أن أضحي . كما يقول من يريد أن ينطق بالنية ، بل أظهر ما في قلبه فقط ، وإلا فإن النية سابقة من حين أن أتى بالأضحية وأضجعها وذبحها فقد نوى” انتهى .
“Ini bukan bentuk melafalkan niat. Karena perkataan orang yang menyembelih: ‘Ini qurban dariku dan keluargaku’ sifatnya sebatas memberitakan apa yang ada dalam hatinya. Karena dia sendiri tidak mengatakan: ‘Ya Allah, saya ingin berqurban.’ Sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang melafalkan niat. Akan tetapi yang dilakukan orang ini hanya menampakkan apa yang ada di hatinya saja. Kerena sesungguhnya niatnya sudah ada ketika hewan qurbannya dibawa, kemudian dibaringkan dan disembelih, berarti dia sudah niat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 22/20)
Keempat, Apakah niat qurban harus bersamaan dengan menyembelih qurban?
Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’;
وَهَلْ يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا عَلَى حَالَةِ الذَّبْحِ أَمْ يُشْتَرَطُ قَرْنُهَا بِهِ، فِيهِ وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا: جَوَازُ التَّقْدِيمِ كَمَا فِي الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ عَلَى الْأَصَحِّ
Bolehkah mendahulukan niat sebelum menyembelih qurban, ataukah disyaratkan harus membarengkan niat dengan menyembelih?
Dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab syafiiyah: pendapat yang paling kuat, boleh mendahulukan niat sebelum menyembelih, sebagaimana untuk puasa dan zakat, menurut pendapat yang kuat. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/406).
Kelima, Orang yang mewakilkan penyembelihan qurban kepada jagal, yang berniat bukan jagalnya tapi pemilik hewan qurban itu. Sementara yang diucapkan oleh si jagal, hanyalah mengabarkan bahwa qurban ini dari si Fulan. Si Jagal mengucapkan: Allahumma hadza ‘an Fulan [Ya Allah, ini dari Fulan]. Andaipun si jagal tidak mengucapkan kalimat pemberitaan ini, qurban tetap sah.
Wallahu a’lam.
Kamis, 25 September 2014
Larangan Bagi Orang yang Ingin Berqurban
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya
kepada kita. Shalwat dan salam semoga terlimpah kepada baginda
Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Bagi orang yang ingin berqurban dilarang memotong kuku dan memangkas
rambutnya sejak masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga dia menyembelih hewan
qurbannya.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Apabila
kalian melihat hilal Dzilhijjah dan salah seorang kalian ingin
berkurban, maka hendaknya dia menahan rambut dan kuku-kukunya (yakni
tidak memotongnya,- red).” (HR. Muslim, beliau membuat bab untuk
hadits ini dan hadits-hadits semakna dengannya, “Bab larangan bagi orang
yang sudah masuk Dzulhijjah sementara ia ingin berqurban untuk memotong
rambut dan kukunya sedikitpun”)
Hadits
di atas dengan jelas menunjukkan bahwa jika sudah masuk sepuluh hari
pertama Dzulhijjah dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia
mengambil sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulit luarnya sampai dia
menyembelih hewan qurbannya. Dan jika dia memiliki beberapa hewan
qurban, maka larangan ini gugur setelah melakukan penyembelihan yang
pertama (Ahadits ‘Asyr Dzilhijjah wa Ayyama Tasyriq, Syaikh Abdullah bin
Shalih al-Fauzan, hal. 5)
Larangannya haram atau makruh?
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum rinci atas larangan ini
bagi orang yang ingin berqurban ketika sudah memasuki sepuluh hari
pertama Dzulhijjah, antara haram dan makruh.
Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Dawud, dan sebagian pengikut
imam Syafi’i berpendapat, diharamkan baginya mengambil sesuatu dari
rambut dan kukunya sehingga dia menyembelih hewan qurbannya pada hari
penyembelihan.
Imam Malik, Syafi’i, dan sebagian sahabatnya yang lain berpendapat,
dimakruhkan –dengan makruh tanzih- bukan diharamkan. Kesimpulan ini
didasarkan kepada hadits Aisyah,
“Dahulu
aku memintal tali-tali untuk dikalungkan pada unta Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam, kemudian beliau mengalungkannya dan mengirimkannya.
Sementara tidak diharamkan atas beliau apa yang telah dihalalkan Allah
hingga beliau menyembelih kurbannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka
mengatakan, para ulama bersepakat bahwa ia tidak diharamkan memakai
pakaian dan wewangian seperti diharamkan atas orang yang sedang ihram.
Ini menunjukkan suatu anjuran bukan kewajiban. Karenanya Imam syafi’i
berpendapat larangan ini tidak menunjukkan keharaman. Sementara
hadits-hadits larangan dibawa kepada makna makruh tanzih.
Memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berkurban hukumnya
makruh, tidak sampai haram.
Maksud larangan memotong kuku dan rambut
Maksud larangan memotong kuku adalah larangan menghilangkannya dengan
jepit kuku, mematahkannya, atau dengan cara lainnya. Sedangkan larangan
memangkas rambut adalah menghilangkannya (mengambilnya) dengan mencukur,
memendekkan, mancabut, atau cara lainnya. Rambut di sini mencakup bulu
ketiak, kumis, kemaluan, dan rambut kepala serta bulu-bulu lain di
badannya.
Ibrahim al-Marwazi dan selainnya berkata, “Hukum semua anggota badan
seperti hukum rambut dan kuku, dalilnya dalam riwayat Muslim yang lain,
فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“
Janganlah dia memotong sedikitpun dari rambut dan kulit luarnya.” (HR. Muslim, dinukil dari syarah Shahih Muslim milik Imam al-Nawawi)
Kepada
siapa larangan ditujukan
Larangan ini khusus ditujukan kepada orang yang akan berqurban,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Dan ingin
berqurban…” tidak meluas kepada istri dan anak-anak apabila mereka
disertakan dalam niat berkurban tadi.
Sedangkan orang yang menyembelih untuk orang lain karena wasiat atau
perwakilan, tidak termasuk yang dilarang untuk memotong kuku, rambut,
atau kulitnya. Karena hewan qurban itu bukan miliknya.
Sementara wanita yang ingin berqurban lalu mewakilkan hewan qurbannya
kepada orang lain karena ingin memotong rambutnya, maka tidak
diperbolehkan. Karena hukum tersebut terkait dengan pribadi yang
berqurban, baik dia mewakilkan kepada yang lainnya ataukah tidak.
Sedangkan orang yang mewakilinya tidak terkena khitab larangan
tersebut.
Apa hikmahnya?
Hikmah
larangan di atas, sebagaimana disebutkan Imam al-Nawawi dalam Syarah
Shahih Muslim, agar seluruh bagian tubuh mendapatkan jaminan terbebas
dari api neraka. Ada juga yang berpendapat, agar menyerupai orang-orang
yang sedang ihram. Akan tetapi pendapat ini perlu dikoreksi, karena ia
tidak menjauhi wanita, tidak meninggalkan memakai minyak wangi dan baju
serta selainnya yang ditinggalkan orang yang sedang ihram.
Bagaimana kalau niatan berqurban muncul bukan sejal awal Dzulhijjah?
Bagi
orang yang telah memotong kukunya atau memangkas rambutnya pada awal
Dzulhijjah karena tidak ada niatan untuk berqurban, maka tidak mengapa.
Kemudian keinginan itu muncul di pertengahan sepuluh hari pertama
(misalnya pada tanggal 4 Dzulhijjah), maka sejak hari itulah dia harus
manahan diri dari memotong rambut atau kukunya.
Bagaimana kalau terpaksa?
Orang
yang sangat terdesak untuk memotong sebagian kuku atau rambut karena
akan membahayakan, seperti pecahnya kuku atau adanya luka di kepala yang
menuntut untuk dipangkas, maka tidak apa-apa. Karena orang yang
berqurban tidaklah lebih daripada orang yang berihram yang pada saat
sakit atau terluka kepalanya dibolehkan untuk memangkasnya. Hanya saja
bagi yang berihram terkena fidyah, sementara orang yang berkurban
tidak.
Bolehkah keramas?
Dalam
mandi besar atau keramas biasanya ada beberapa lembar rambut yang akan
rontok dan terbawa bersama air, bagaimanakah ini?
Laki-laki dan perempuan yang ingin berqurban tidak dilarang untuk
keramas pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, walaupun akan ada satu,
dua, atau lebih helai rambutnya yang rontok. Karena larangan Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam tersebut bagi yang sengaja memotong atau
memangkas dan juga karena orang berihram tetap dibolehkan untuk
membasahi rambutnya.
Laki-laki dan perempuan yang ingin berqurban tidak dilarang untuk
keramas pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, walaupun akan ada satu,
dua, atau lebih helai rambutnya yang rontok.
Ya Allah limpahkan kebaikan-Mu kepada kami. Liputi kami dengan rahmat
dan maghfirah-Mu. Jangan jadikan dosa-dosa kami sebagai penghalang atas
pahala dan ampunan-Mu. Jangan Engkau telantarkan kami karena keburukan
dan aib kami. Ampunlah kami, Ya Allah, dan ampuni dosa kedua orang tua
kami serta seluruh kaum muslimin. Semoga shalawat dan salam terlimpah
kepada baginda Rasulillah, keluarga, dan para sahabatnya. Amiin
Partisipasi Qurban 2018 Rumah Zakat
Partisipasi Qurban 2018
Bila anda berencana berqurban di tahun 2018 ini, bisa ditunaikan melalui Rumah Zakat dengan berpartipasi dalam program superqurban. Caranya cukup mudah, silahkan untuk menyampaikan amanah qurbannya melalui salahsatu nomor rekening an Yayasan Rumah Zakat Indonesia, kemudian melakukan konfirmasi pada menu konfirmasi, atau kolom partisipasi qurban 2018, dengan menyampaikan informasi yang selengkapnya seperti :
1) Nama Pequrban
2) Jenis Hewan Qurban
3) Bank asal transfer dan rekening tujuan
4) Tanggal Transfer
5) Alamat
6) Email
7) No HP
atau via whatsapp/sms ke 0878 2242 9564
Contohnya : Yan Yan Budiman_Sapi Utuh_Mandiri_17,250,000 _22/08/2018_Jakarta
Konsultasi dan informasi lebih lengkap, hubungi
Yan Yan Budiman
Sms/WA : 0878 2242 9564
Email : yanyan.budiman@rumahzakat.org
yanrumahzakat@gmail.com
Rabu, 24 September 2014
Menjadi Yang Paling Dicintai
Bukan daging-daging unta dan darahnya itu yang dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya…” (Al-Hajj: 37)
Maha Agung Allah yang Menciptakan kehidupan dengan
segala kelengkapannya. Ada kelengkapan pokok, ada juga yang cuma hiasan.
Sayangnya, tak sedikit manusia yang terkungkung pada jeratan kelengkapan
aksesoris.
Berqurbanlah, Anda akan menjadi yang paling kaya
Logika sederhana manusia kerap mengatakan kalau
memberi berarti terkurangi. Seseorang yang sebelumnya punya lima mangga
misalnya, akan berkurang jika ia memberikan dua mangga ke orang lain. Logika
inilah yang akhirnya menghalangi orang untuk berqurban.
Jika bukan karena iman yang dalam, logika ini akan
terus bercokol dalam hati. Ia akan terus menenggelamkan manusia dalam kehidupan
yang sempit, hingga ajal menjemput. Sulit menerjemahkan sebuah pemberian
sebagai keuntungan. Sebaliknya, pemberian dan pengorbanan adalah sama dengan
pengurangan.
Rasulullah saw. mengajarkan logika yang berbeda.
Beliau saw. mengikis sifat-sifat kemanusiaan yang cinta kebendaan menjadi sifat
mulia yang cinta pahala. Semakin banyak memberi, orang akan semakin kaya.
Karena kaya bukan pada jumlah harta, tapi pada ketinggian mutu jiwa.
Rasulullah saw. mengatakan, “Yang dinamakan kekayaan
bukanlah banyaknya harta benda. Tetapi, kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan
jiwa (hati).” (HR. Abu Ya’la)
Berqurbanlah, Anda akan menjadi orang sukses
Sukses dalam hidup adalah impian tiap orang. Tak
seorang pun yang ingin hidup susah: rezeki menjadi sempit, kesehatan menjadi
langka, dan ketenangan cuma dalam angan-angan. Hidup seperti siksaan yang tak
kunjung usai. Semua langkah seperti selalu menuju kegagalan. Buntu.
Namun, tak sedikit yang cuma berputar-putar pada
jalan yang salah. Padahal, rumus jalan bahagia sangat sederhana. Di antaranya,
kikis segala sifat kikir, Anda akan menemukan jalan hidup yang serba mudah.
Allah swt. berfirman, “Ada pun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang
terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
ada pun yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail:
5-10)
Kalau jalan hidup menjadi begitu mudah, semua
halangan akan terasa ringan. Inilah pertanda kesuksesan hidup seseorang. Semua
yang dicita-citakan menjadi kenyataan. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
sukses.” (Al-Hasyr: 9)
Berqurbanlah, Anda akan sangat dekat dengan Yang Maha
Sayang
Sebenarnya, Allah sangat dekat dengan hamba-hambaNya melebihi
dekatnya sang hamba dengan urat lehernya. “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (Qaaf: 16)
Namun, ketika ada hijab atau dinding, yang dekat
menjadi terasa sangat jauh. Karena hijab, sesuatu menjadi tak terlihat, tak
terdengar, bahkan tak terasa sama sekali. Dan salah satu hijab yang kerap
menghalangi kedekatan seorang hamba dengan Penciptanya adalah kecintaan pada
harta.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk tidak berharta.
Atau, menjadi miskin dulu agar bisa dekat dengan Allah swt. Tentu bukan itu.
Tapi, bagaimana meletakkan harta atau fasilitas hidup lain cuma di tangan saja.
Bukan tertanam dalam hati. Dengan kata lain, harta cuma sebagai sarana. Bukan
tujuan.
Karena itu, perlu pembiasaan-pembiasaan agar jiwa
tetap terdidik. Dan salah satu pembiasaan itu adalah dengan melakukan qurban.
Karena dari segi bahasa saja, qurban berasal dari kata qoroba-yaqrobu-qurbanan
artinya pendekatan. Berqurban adalah upaya seorang hamba Allah untuk mengikis
hijab-hijab yang menghalangi kedekatannya dengan Yang Maha Sayang.
Berqurbanlah, Anda akan menjadi yang paling dicintai
Setiap cinta butuh pengorbanan. Kalau ada orang yang
ingin dicintai orang lain tanpa memberikan pengorbanan, sebenarnya ia sedang
memperlihatkan cinta palsu. Cinta ini tidak pernah abadi. Cuma bergantung pada
sebuah kepentingan sementara.
Allah swt. Maha Tahu atas isi hati hamba-hambaNya.
Mana yang benar-benar mencintai, dan mana yang cuma main-main. Dan salah satu
bentuk keseriusan seorang hamba Allah dalam mencari cinta Yang Maha Pencinta
adalah dengan melakukan pengorbanan. Bisa berkorban dengan tenaga, pikiran, dan
harta di jalan Allah. Dan sebenarnya, pengorbanan itu bukan untuk kepentingan
Allah. Allah Maha Kaya. Justru, pengorbanan akan menjadi energi baru bagi si
pelaku itu sendiri.
Sumber: www.dakwatuna.com
Harga Hewan Qurban 2018 Rumah Zakat
Katalog Superqurban 2018 Rumah Zakat
Harga berikut merupakan harga hewan qurban 2018 (1439 H) di Rumah Zakat
Kambing Qurban 2018
Berat Hidup: 19 kg s.d 24 kg
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian
Prediksi Jumlah Kornet : 30 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.375.000,00
Sapi Qurban 2018
Berat Hidup: 180 kg s.d 250
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Prediksi Jumlah Kornet : 350 kaleng
Harga Qurban Rp. 17.250.000,00
Sapi Retail (1/7) Qurban 2018
Berat Hidup: 180 kg s.d 250
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Prediksi Jumlah Kornet : 50 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.575.000,00
Harga berikut merupakan harga hewan qurban 2018 (1439 H) di Rumah Zakat
Kambing Qurban 2018
Berat Hidup: 19 kg s.d 24 kg
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian
Prediksi Jumlah Kornet : 30 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.375.000,00
Sapi Qurban 2018
Berat Hidup: 180 kg s.d 250
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Prediksi Jumlah Kornet : 350 kaleng
Harga Qurban Rp. 17.250.000,00
Sapi Retail (1/7) Qurban 2018
Berat Hidup: 180 kg s.d 250
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Prediksi Jumlah Kornet : 50 kaleng
Harga Qurban Rp. 2.575.000,00
Senin, 22 September 2014
Hanya Dengan Rp 2 juta an, bisa berqurban sapi
Kriteria hewan qurban sapi retail atau 1/7
Berat Hidup: 180 kg s.d 250
Jenis Kelamin : Jantan
Kondisi : hewan sehat, tidak sakit, tidak hilang atau cacat sebagian tubuhnya
Prediksi Jumlah Kornet : 50 kaleng
Harga Qurban Sapi Retail Rp.2,575,000
informasi lebih lengkap:
Yan Yan Budiman
0878 2242 9564
Email : yanyan.budiman@rumahzakat.org
Makna dan Tujuan Qurban
Hari Raya Idhul Adha merupakan hari besar umat Islam di
seluruh dunia dimana pada hari tersebut didalamnya terdapat suatu kegiatan
yakni penyembelihan hewan ternak (Qurban) dengan tujuan mendapatkan ridho Allah
Swt. Sedangkan penyembelihan hewan ternak (qurban) secara etimologi berasal
dari kata bahasa Arab, yakni Qaraba, Yaqrabu, Quban wa qurbanan wa qirbanan
yang meliki arti dekat. Jadi, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Qurban dalam pengertian kita
sehari-hari sebenarnya diambil dari kata udhhiyah yakni bentuk jama’ dari kata
”dhahiyyah” yaitu sembelihan pada waktu dhuha tanggal 10 sampai dengan 13
Dzulhijjah. Dari sinilah muncul istilah ”Idul Adha”. Dengan demikian yang
dimaksud dengan qurban atau udhhiyah adalah penyembelihan hewan dengan tujuan
beribadah kepada Allah pada hari raya Idul Adha dan tiga hari Tasyriq, yaitu
tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Dalam sejarahnya, qurban menurut firman Allah SWT dalam Q.S.
Al Maidah : 27
”Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil
dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban,
maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima
dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): "Aku pasti membunuhmu!"
Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Maidah [5]: 27). Dalam kandungan ayat ini
bahwa dalam berqurban dibutuhkan keikhlasan dan persembahan kepada Allah dan
ketaqwaan kita kepada-Nya. Seperti, dikisahkan pada era nabi Adam a.s., qurban
sudah diperkenalkan. Beliau mendapat perintah dari Allah agar kedua anaknya
melakukan qurban. Caranya dengan ”mempersembahkan” hasil bumi dan hewan ternak.
Kedua anaknya, Qobil dan Habil segera memenuhi perintah tersebut. Habil yang
peternak, dengan sepenuh hati berqurban untuk mencari ridha Allah dengan
menyiapkan hewan terbaiknya untuk qurban. Sebaliknya, Qabil, yang petani,
melaksanakan perintah tersebut dengan tidak ikhlas karena Allah, ia merasa
terpaksa. Ia berqurban dengan buah-buahan yang busuk yang ia sendiri tidak
menyukainya. Qurban Habil diterima oleh Allah sedangkan qurban Qabil ditolak.
Kisah tersebut dapat dijadikan suri tauladan yang baik bagi kita semua.
Adapun makna qurban adalah sebagai berikut :
1. Merupakan pencerah jiwa karena dengan berqurban berarti
jiwa kita terhubung dengan ketaqwaan kepada Allah SWT;
2. Dapat memupuk keikhlasan, kejujuran dan kesabaran yang
membimbing kita mencintai Allah dan akhirnya juga mencintai makhluk ciptaanNya.
3. Mempererat tali persaudaraan kepada sesama manusia serta
sikap solidaritas yang tinggi; dan
4. Memperkuat keteguhan hati dan jiwa dalam diri kita.
Semua makna qurban di atas harus dicermati dan diperhatikan
baik-baik karena sungguh berqurban berarti pendekatan kita kepada Allah SWT.
Sikap iman dan taqwa juga meliputi itu semua. Kesadaran dalam jiwa yang
menumbuhkan sikap iman dan taqwa dalam diri kita dengan makna-makna tersebut.
Berat sekali ujian keimanan pada era global seperti sekarang
ini. Idealisme sulit ditemukan dan pragmatisme menjadi fenomena sehari-hari.
Merosotnya nilai-nilai ideal tidak saja dalam dunia bisnis tetapi juga dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kalau dalam masyarakat, orang
yang dipandang dan dihormati adalah mereka yang memiliki kekayaan berlebih,
maka korupsi akan tumbuh subur. Suara dan jeritan kaum fakir miskin dan rakyat
jelata sudah tidak lagi diperhatikan. Tangisan bayi dan orang tua yang hidup
sengsara sudah tidak terdengar lagi. Dan jika para pemimpin bangsa (eksekutif,
legislatif dan yudikatif) sudah berlomba-lomba memamerkan kekayaan dan
kewewahan maka tunggullah azab Allah yang terus datang silih berganti.
Hidup di dunia merupakan rangkaian siklus kehidupan manusia
yang panjang yang bermula dari Allah (alam azali), lahir di dunia, meninggal
dan berada di alam kubur, dibangkitkan kembali dan perhitungan amal baik serta
jahat, kemudian hidup di akhirat, surga atau neraka. Ibadah haji dan qurban
sekali lagi mengingatkan kita terhadap kehidupan masa lalu ( Adam, Qabil,
Habil, Ibrahim, Sarah, Ismail) bagaimana mereka berjuang dan berqurban untuk
mendapatkan ridla Allah. Ibadah tersebut juga mengokohkan semangat kita untuk
merenungkan apa arti qurban dan ibadah haji pada masa kini. Haji dan qurban
adalah syariat untuk pensucian jiwa, membersihkan kotoran yang ada pada hati
kita, sifat-sifat ananiyah atau egoisme dibersihkan melalui ibadah haji dan
menyembelih qurban. Kita tebar kepedulian sosial kita kepada sesama umat
manusia melalui penyebarluasan daging qurban, dan persahabatan abadi kita jalin
antar sesama muslim se dunia melalui ibadah haji.
Kamis, 18 September 2014
Amalan Ibadah Menjelang Idul Adha 1438 H
1. Haji & umroh
Bulan Dzulhijjah dinamakan Dzulhijjah karena di bulan inilah dilaksanakannya ibadah haji.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97)
Bulan Dzulhijjah dinamakan Dzulhijjah karena di bulan inilah dilaksanakannya ibadah haji.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97)
2. Memperbanyak amal sholeh
Dari Ibnu Abbas rodhiyallhu anhuma, ia berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
«مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ» ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ»
“Tiada hari-hari yang amalan sholeh di dalamnya lebih dicintai oleh Alloh daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, tidak pula jihad di jalan Alloh?” Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Tidak juga jihad di jalan Alloh, kecuali seorang yang berangkat dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikit pun. “ [HR al-Bukhori no. 969, at-Tirmidzi no. 757, Abu Dawud no. 2438, Ahmad no 1968, dll. Lafadz ini dari riwayat at-Tirmidzi]
Dan amal sholeh dalam hadits ini umum mencakup puasa, sholat, dzikir, membaca al-Qur’an, bersedekah, dll.
3. Tidak memotong atau mencabut rambut, kulit dan kuku bagi yang akan berkurban
Dari Ummu Salamah rodhiyallohu anha, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah ia mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun.” [HR. Muslim no. 1977]
Dalam riwayat Muslim lainnya:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Barangsiapa yang memiliki hewan kurban untuk disembelih, apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih kurbannya.” [HR. Muslim no. 1977]
Hukum ini khusus bagi orang yang berniat ingin berkurban, adapun yang selainnya tidak dilarang.
4. Memperbanyak Takbir
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ: «يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ العَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا»
“Ibnu Umar dan Abu Huroiroh keluar ke pasar pada 10 hari (pertama) Dzulhijjah sambil bertakbir dan orang-orangpun bertakbir dengan takbir mereka berdua.” [Diriwayatkan al-Bukhori secara mu’allaq dalam Shohihnya, al-Fakihi dalam Akhbar Makkah no. 1704 dengan sanad yang bersambung. Dishohihkan al-Albani dalam al-Irwa’ no. 651]
Ada beberapa riwayat dari shohabat tentang takbir dari setelah sholat shubuh sampai setelah sholat ashar di akhir hari tasyriq. Diantaranya dari Ali rodhiyallohu anhu:
«أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ، إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَيُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ»
“Bahwasanya beliau bertakbir setelah sholat shubuh pada hari Arofah sampai sholat ashar di akhir hari tasyriq dan beliau bertakbir setelah ashar.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5631, dishohihkan al-Albani dalam al-Irwa’ dalam pembahasan hadits no. 653]
Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni 2/292:
قِيلَ لِأَحْمَدْ، – رَحِمَهُ اللَّهُ -: بِأَيِّ حَدِيثٍ تَذْهَبُ، إلَى أَنَّ التَّكْبِيرَ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ؟ قَالَ: بِالْإِجْمَاعِ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -.
Imam Ahmad rohimahulloh ditanya: “dengan hadits mana engkau berpendapat bahwa takbir itu dari sholat fajar di hari Arofah sampai akhir hari tasyriq?” beliau menjawab: “dengan Ijma’ Umar, Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhum.”
Diriwayatkan dari Ibrohim an-Nakho’i (tabi’in), ia berkata:
كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ، وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلٌ الْقِبْلَةَ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Mereka dahulu bertakbir pada hari Arofah dan salah seorang dari mereka menghadap kiblat di akhir sholat dengan mengucapkan: Allohu akbar, Allohu akbar, laa ilaaha illallohu wallohu akbar, Allohu akbar wa lillaahil hamd.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya no. 5650, dishohihkan oleh syaikh Abul Hasan as-Sulaymani dalam Tanwirul Ainain bi Ahkamil Adhohi wal Iedain hal. 290]
Namun “mereka” yang dimaksud oleh Ibrohim an-Nakho’i dalam riwayat di atas tidak dijelaskan siapa, kemungkinannya bisa berarti para shohabat atau para tabi’in.
Lafadz Takbir:
Ada beberapa lafadz takbir yang diriwayatkan dari para shohabat dan dishohihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil 1/125-126:
Lafadz takbir Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allohu akbar, Allohu akbar, laa ilaaha illallohu wallohu akbar, Allohu akbar wa lillaahil hamd.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya no. 5651]
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allohu akbar, Allohu akbar, Allohu akbar, laa ilaaha illallohu wallohu akbar, Allohu akbar wa lillaahil hamd.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya no. 5633]
Lafadz Takbir Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَأَجَلُّ اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allohu akbar kabiro, Allohu akbar kabiro, Allohu akbar wa ajal, Allohu akbar wa lillaahil hamd.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya no. 5646]
Dan beberapa lafadz lainnya. Dan yang perlu diingat bahwa takbir dilakukan sendiri-sendiri, bukan berjama’ah dengan satu suara.
5. Puasa Arofah Pada Tanggal 9 Dzulhijjah
Dari hadits Abu Qotadah al-Anshori, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ditanya tentang puasa Arofah, beliau menjawab:
«يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ»
“Puasa Arofah menggugurkan dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.” [HR. Muslim no. 1162, Ahmad no. 22621, an-Nasa’i dalam al-Kubro no. 2826, dll]
6. Sholat Iedul Adha Di Lapangan Bersama Kaum Muslimin
Mandi Sebelum Berangkat
Disunnahkan mandi sebelum berangkat sholat ied, berdasarkan atsar-atsar berikut ini:
عَنْ زَاذَانَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ الْغُسْلِ فَقَالَ: «اغْتَسِلْ كُلَّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ» ، فَقَالَ: الْغُسْلُ الَّذِي هُوَ الْغُسْلُ؟ قَالَ: «يَوْمُ الْجُمُعَةِ، وَيَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَّحْرِ، وَيَوْمُ الْفِطْرِ»
Dari Zadzan, seseorang bertanya kepada Ali rodhiyallohu anhu tentang mandi, maka Ali menjawab: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “(maksudku) mandi yang benar-benar mandi?” Ali rodhiyallohu anhu menjawab: “Hari Jum’at, hari Arofah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” [HR. asy-Syafi’i dalam Musnadnya no. 988 dan al-Baihaqi dalam al-Kubro no. 6124, dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/176-177]
Dari Muhammad bin Ishaq, ia berkata: aku bertanya kepada Nafi’:
كَيْفَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَصْنَعُ يَوْمَ الْعِيدِ؟ قَالَ: كَانَ «يَشْهَدُ صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ الْإِمَامِ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلَهُ مِنَ الْجَنَابَةِ وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَيَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا عِنْدَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَيَجْلِسُ فِيهِ حَتَّى يَجِيءُ الْإِمَامُ , فَإِذَا جَاءَ الْإِمَامُ صَلَّى مَعَهُ ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَدْخُلُ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَأْتِي بَيْتَهُ»
“Apa yang dilakukan Ibnu Umar pada hari ied?” ia menjawab: “beliau sholat shubuh bersama imam kemudian pulang ke rumahnya, lalu mandi seperti mandi janabah dan memakai pakaiannya yang paling bagus serta memakai wewangian yang ada padanya, kemudian beliau keluar mendatangi musholla (lapangan sholat Ied) lalu duduk sampai imam datang. Ketika imam telah datang, beliau sholat bersamanya. Setelah selesai beliau kembali dan mampir ke masjid Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan sholat dua roka’at disana, lalu pulang ke rumahnya.” [Diriwayatkan al-Harits bin Muhammad dalam Baghiyatul Bahits ‘ala Zawa’id Musnad al-Harits no. 207, dihasankan oleh syaikh Abul Hasan as-Sulaymani dalam Tanwirul Ainain bi Ahkamil Adhohi wal Iedain hal. 29]
Tidak makan sebelum sholat Iedul Adha
Dari hadits Buraidah rodhiyallohu anhu, ia berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ، وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ»
“Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tidak berangkat sholat pada hari raya iedul fithri sebelum makan, dan beliau tidak makan pada hari raya Iedul Adha sampai selesai sholat.”
[HR. at-Tirmidzi no. 542, al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah no. 1104. Dishohihkan al-Albani dalam Misykah al-Mashobih no. 1440]
Jalan kaki menuju lapangan sholat Ied
Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
“Termasuk perbuatan sunnah, kamu keluar mendatangi sholat ied dengan berjalan kaki”. [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); dihasankan al-Albani dalam Shohih Sunan at-Tirmidzi (530)]
Abu ‘Isa At-Tirmidzy- rahimahullah-berkata dalam Sunan At-Tirmidzy (2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu. Mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied dengan berjalan kaki”.
Menuju lapangan sholat ied sambil bertakbir
Dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhuma:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَالْعَبَّاسِ، وَعَلِيٍّ، وَجَعْفَرٍ، وَالْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَزِيدِ بْنِ حَارِثَةَ، وَأَيْمَنَ ابْنِ أُمِّ أَيْمَنَ، رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ، فَيَأْخُذُ طَرِيقَ الْحَدَّادِينَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، فَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى الْحَذَّائِينَ حَتَّى يَأْتِيَ مَنْزِلَهُ»
“Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berangkat sholat pada dua hari Ied bersama al-Fadhl bin Abbas, Abdulloh bin Abbas, al-Abbas, Ali, Ja’far, al-Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengucapkan tahlil dan takbir dengan mengangkat suaranya, beliau berangkat melewati jalan al-Haddadiin sampai tiba di lapangan sholat Ied. Ketika telah selesai beliau pulang melalui jalan al-Hadzdzaiin sampai tiba di rumahnya.” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1341, al-Baihaqi dalam al-Kubro no. 6130. Hadits ini dinilai hasan li ghoirihi oleh al-Albani dalam ash-Shohihah 1/330 dan al-Irwa’ 3/123]
Sholat Ied bersama kaum muslimin & mendengarkan khutbah
Jamaah sholat Ied dipersilahkan memilih duduk mendengarkan khutbah atau tidak, berdasarkan hadits Abdulloh bin as-Sa’ib rodhiyallohu anhu: aku melaksanakan sholat Ied bersama Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika selesai sholat beliau bersabda:
«إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ»
“Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah maka duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan pergi.” [HR. Abu Dawud no. 1155, Ibnu Majah no. 1290, ad-Daruquthni no. 1738, al-Hakim no. 1093, dll. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam al-Irwa’ no. 629]
Mengucapkan tahni’ah “Taqobbalallohu minna wa minkum”
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” [Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya syaikh Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168]
Pulang melalui rute yang berbeda dari berangkat
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ»
“Nabi shollallohu alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda.” [HR. Al-Bukhori no. 986]
Begitu pula dalam hadits yang telah disebutkan sebelumnya tentang berangkat sholat Ied sambil bertakbir:
فَيَأْخُذُ طَرِيقَ الْحَدَّادِينَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، فَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى الْحَذَّائِينَ حَتَّى يَأْتِيَ مَنْزِلَهُ
“beliau berangkat melewati jalan al-Haddadiin sampai tiba di lapangan sholat Ied. Ketika telah selesai beliau pulang melalui jalan al-Hadzdzaiin sampai tiba di rumahnya.” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1341, al-Baihaqi dalam al-Kubro no. 6130. Hadits ini dinilai hasan li ghoirihi oleh al-Albani dalam ash-Shohihah 1/330 dan al-Irwa’ 3/123]
7. Menyembelih hewan kurban setelah sholat Idul Adha
Dari Abu Huroiroh, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا»
“Barangsiapa memiliki kelapangan (rizki) tapi tidak berkurban, janganlah ia mendekati tempat sholat kami.” [HR. Ibnu Majah no. 3123, Ahmad no. 8273, ad-Daruquthni no. 4762, al-Hakim no. 7565, dll. Dihasankan oleh al-Albani dalam Takhrij Musykilatul Faqr no. 102]
Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ»
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, berarti ia menyembelih hanya untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah sholat, maka telah sempurnalah qurbannya dan sesuai dengan sunnahnya kaum muslimin.” [HR. al-Bukhori no. 5546]
8. Tidak berpuasa pada hari raya Iedul Adha
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu, ia berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى، وَيَوْمِ الْفِطْرِ»
“bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melarang puasa pada 2 hari: hari raya Idul Adha dan Idul Fithri.” [HR. Muslim no. 139, Malik 1/376, Ahmad no. 10634, Ibnu Hibban no. 3598, dll]